Senin, 07 Desember 2015

Makalah Interrelasi Nilai Jawa dan Islam pada Aspek Kepercayaan dan Ritual


MAKALAH
INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK KEPERCAYAAN DAN RITUAL
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Islam dan Kebudayaan Jawa
yang diampu oleh: M. Rikza Chamami, MSI

Oleh:
Hamam Nasirudin (103611003)
Wahyu Bunga Sari (133611024)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015


I.     PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di dalam kehidupan ini, tidak ada sesuatu yang tidak mengalami perubahan. Termasuk juga budaya, perubahan budaya tentunya tidak hanya menyangkut budaya material, tetapi menyangkut pula perubahan pada aspek kognitif, tindakan dan simbol-simbolnya. Perubahan budaya masyarakat Jawa-Islam terlihat dari tradisi lokal dalam arti dilakukan berdasarkan lokalitasnya ke arah tradisi Islam lokal, yaitu tradisi Islam dalam konteks lokalitas Jawa. Perubahan tersebut mengarah ke dimensi akulturasi dan bukan adaptasi, karena didalam perubahan itu tidak terjadi proses meniru atau menyesuaikan, akan tetapi mengakomodasi dua elemen menjadi satu kesatuan baru. Didalam akulturasi tersebut ada unsur yang dimasukkan dan ada unsur yang dibuang. Untuk memahami bagaimana proses akulturasi Islam dalam budaya Jawa, pada makalah ini akan dibahas tentang akulturasi budaya Jawa dan Islam, interelasi budaya Jawa dan Islam pada aspek kepercayaan serta interelasi budaya Jawa dan Islam pada aspek ritual.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Akulturasi Budaya Jawa dan Islam?
2.    Bagaimana Interelasi Budaya Jawa dan Islam pada Aspek Kepercayaan?
3.    Bagaimana Interelasi Budaya Jawa  dan Islam pada Aspek Ritual?
II.  PEMBAHASAN
A.    Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Agama Islam yang datang ke Indonesia adalah agama asing, karena hampir disemua wilayah Nusantara masyarakatnya telah memiliki kepercayaan dan tradisi yang sudah mapan. Dalam antropologi budaya terdapat beragam suku dan budaya, salah satunya adalah suku Jawa. Sebelum datangnya agama-agama asing dari luar, masyarakat Jawa telah memiliki kepercayaan sendiri. Kepercayaan terhadap kekuatan magic dan pemujaan terhadap ruh-ruh leluhur (animisme-dinamisme). Mistik merupakan ajaran yang telah lama dikenal dan diyakini oleh orang Jawa. Kedatangan bangsa India (Hindhu-Budha) juga mengajarkan mistik, yang kemudian diserap dan diolah oleh masyarakat Jawa.
Terdapat dua pendekatan dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Pendekatan pertama disebut “Islamisasi Kultur Jawa”. Islamisasi kultur Jawa adalah proses pemasukan corak-corak Islam dalam budaya Jawa baik secara formal maupun substansial. Contoh adanya Islamisasi Kultur Jawa adalah slametan, slametan berasal dari Bahasa Arab salima-yasalamu-salaman yang berarti selamat. Upacara dugderan, merupakan upacara tradisional masyarakat Semarang bernuansa religius yang diadakan 1 hari menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Kata “dugder” diambil dari perpaduan bunyi bedug yang ditabuh oleh kanjeng Bupati Semarang sebagai bunyi dug dengan disertai bunyi meriam yang diasumsikan dengan bunyi der, sehingga terpadu menjadi dugder. [1]
Pendekatan kedua disebut Jawanisasi Islam. Jawanisasi Islam adalah pemasukan nilai-nilai budaya Jawa kedalam ajaran-ajaran Islam. Contohnya dalam tembang Jawa berikut:
“Tak uwisi gunem iki Niyatku mung aweh wikan Kabatinan akeh lire. Lan gawat ka liwat-liwat. Mulo dipun prayitno Ojo keliru pamilihmu Lamun mardi kebatinan”.
Yang artinya:
“Saya akhiri pembicaraan ini saya hanya ingin memberi tahu Kabatinan banyak macamnya Dan artinya sangat gawat Maka itu berhati-hatilah Jangan kamu salah piih Kalau belajar  kebatinan” (Akbar Taksisman, tth: 5-6).
Jika diperhatikan, arti dari tembang ini adalah pesan orang tua kepada anaknya bahwa perlu dipahami tujuan hakiki dari kejawen adalah mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula lan Gusti (jumbuhing kawula Gusti) atau pendekatan kepada yang maha kuasa secara total (Akbar Taksisman, t.th.: 6). Dan dalam Islam-pun konsep ini dianjurkan, yaitu anjuran mempelajari ilmu Tauhid.[2]
B.     Interelasi Budaya Jawa dan Islam pada Aspek Kepercayaan
Budaya Jawa sudah ada sejak zaman prasejarah, sejak masyarakat Jawa itu sendiri ada, dengan budaya yang bertumpu pada religi animisme-dinamisme. Dasar pemikiran religi animisme-dinamisme yaitu adanya kepercayaan tentang kekuatan atau energi yang mendiami benda-benda (keramat) dan adanya roh-roh halus (termasuk arwah para leluhur) yang menempati alam sekeliling mereka.
Sebelum kedatangan Islam di Jawa, Hindhu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan Animisme dan Dinamisme telah berurut akar dikalangan masyarakat Jawa. Dengan datangnya Islam terjadi pergumulan antara Islam disatu pihak , dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya dipihak lain. Akibatnya, muncul  kelompok-kelompok masyarakat dalam menerima Islam.
Geertz mengelompokkan masyarakat Jawa kedalam kategori sebagi berikut:
1.    Santri, yaitu golongan masyarakat Islam yang beragama Islam dan memegang teguh syariat Islam. Mengerjakan segala kewajiban, semacam sholat, zakat, puasa dan meninggalkan segala keharaman, tidak makan babi, tidak membuat sesajen dan sebagainya.
2.    Abangan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam namun kurang memegang teguh syariat Islam. Masyarakat yang tergolong dalam kategori ini tidak sholat, puasa dan sebagainya. Dan masih mengerjakan amalan-amalan berbau Hindu semacam sesajen, grebegan dan lainnya.
3.    Priyayi, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau bangsawan. Mereka menempati posisi yang dimuliakan baik oleh kalangan santri maupun abangan, terlepas dari cara keberagaman mereka. (Mahardhika Zifani, 2008:11)[3].
Pada pengamalan kepercayaan atau praktek keagamaan antara golongan santri dan golongan abangan dapat dibedakan dari cara-cara mereka melakukan ibadah, kepatuhannya terhadap syariat Islam. Kaum santri berbeda dari kaum priyayi atau orang Jawa Kejawen (abangan) dalam mengamalkan ajarannya. Kaum santri berusaha untuk mengatur hidup mereka menurut aturan-aturan agama Islam, sedangkan kaum abangan lebih cenderung mengatur hidupnya berdasarkan tradisi-tradisi kerajaan yang notabene-nya merupakan warisan pra Islam yang sudah berbaur dengan ajaran-ajaran Islam.[4]
Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut hyang atau yang yang berarti “Tuhan”. Tuhan dalam bahasa Jawa terkadang dinamakan Hyang Maha Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Shalat sehari-hari (sālah dalam bahasa Arab) disebut sembahyang dalam bahasa Jawa. Kata ini berasal dari kata sembah yang berarti  “penyembahan” dan yang, artinya “Tuhan”.[5]
Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional adalah slametan (selamatan, kenduri). Hal ini merupakan acara agama yang paling umum diantara para abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam selamatan tersebut.[6]
Sikap yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, disatu sisi dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi dan pencampur adukan antara Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lama, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan mana yang berasal dari tradisi. Namun, aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut telah menjadi media yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Dan ajaran-ajaran tersebut telah memudahkan pihak Islam pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa.[7]
C.     Interelasi Budaya Jawa  dan Islam pada Aspek Ritual
Ritual adalah seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama atau magi, yang dimantapkan melalui tradisi. Menurut Dhavamony (2000:175) ritual dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1.    Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis.
2.    Tindakan religius
3.    Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas.
4.    Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan atau pemurnian dan perlindungan untuk meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.[8]
Masyarakat Jawa sebelum Islam datang, mereka menyukai kegiatan mistik dan melakukan ritual untuk mendapatkan kemampuan supranatural. Para pengembang ajaran Islam di pulau Jawa (Wali Songo) tidak menolak tradisi Jawa tersebut. Melainkan memanfaatkannnya sebagai media untuk menyebarkan Islam. Para wali menyusun dengan lelaku yang lebih Islami, misalnya puasa, wirid mantra bahasa campuran Arab-Jawa yang intinya adalah do’a kepada Allah SWT. Mantra tidak disususun menggunakan bahasa Arab secara keseluruhan supaya orang Jawa tidak merasa asing dengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal. Misalnya, kidung “Rumeksa Ing Wengi” yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga.[9]
Ritual-ritual adat dalam bentuknya yang sekarang tidak membahayakan keyakinan Islam. Bahkan telah digolongkan sebagai manifestasi keyakinan itu sendiri dan digunakan sebagai syi’ar Islam khas daerah tertentu. Salah satu contoh ritual adat budaya Jawa Islam adalah perayaan hari-hari besar Islam, syukuran atau tasyakuran dan slametan.
1.    Perayaan Hari-Hari Besar Islam
a.    Suroan
Suroan berarti merayakan atau memperingati suro yaitu hari ke-10 bulan Muharram. Menurut kayakinan masyarakat Jawa, hari ‘asyura mengingatkan akan sejumlah peristiwa penting. Pada tanggal 10 Muharram, rasul pertama Allah, Adam diturunkan ke Bumi; Allah memberi kebaikan-Nya kepada Adam dan Hawa ketika mereka bertobat setelah diusir dari surga; Idris diberkahi oleh Allah dengan kedudukan yang mulia; Nuh dan muridnya selamat dengan perahunya; Ibrahim selamat tanpa luka setelah dibakar oleh raja Namrudz dari Babilonia; Musa mendapat wahyu secara langsung dari Allah di gurun Sinai; ‘asyura juga merupakan kelahiran Isa dan kenaikannya ke surga; hari ketika Nabi Muhammmad menikahi Khadijah; dan merupakan hari penciptaan langit, bumi, Adam dan Hawa.[10]
Untuk memperingati peristiwa penting yang begitu banyak tersebut, masyarakat Jawa melakukan Slametan atau sedekah yang diyakini merupakan suatu bentuk ibadah.
b.   Saparan
Al Dairaby menegaskan bahwa setiap tahun Allah menyertakan 350.000 kecelakaan dan bencana yang banyak pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Hari ini menjadi hari yang paling berbahaya dalam setahun. Supaya terhindar dari bencana, pada rebo wekasan, masyarakat Jawa biasanya mengadakan slametan supaya terhindar dari berbagai bahaya yang jatuh di bulan Shafar.
c.    Mauludan atau Rajaban
Mauludan berarti merayakan m(a)ulud (mawlid=hari lahir), kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, bulan ketiga kalender Islam Jawa. Pada tanggal 1-12 Rabi’ul Awwal, masyarakat Jawa memperingatinya dengan membaca berzanji[11] di masjid, mushola ataupun ditempat ngaji. Sedangkan rajaban berarti merayakan peristiwa yang terjadi di bulan Rajab, yaitu Isra’ Mi’raj yang terjadi pada malam 27 Rajab, bulan ketujuh kalender Islam-Jawa.
d.   Ruwahan
Ruwahan diadakan dalam rangka memperingati bulan Ruwah atau bulan kedelapan kalender Jawa yang bertepatan dengan bulan Sya’ban. Ruwah berasal dari bahasa Arab ruh (jamak: arwah) yang berarti jiwa. Menurut tradisi Jawa, pada malam tanggal 15, pertengahan bulan Ruwah (Nisfu Sya’ban), pohon kehidupan yang pada daunnya tertulis nama-nama manusia bergoyah. Jika daun gugur, ini berarti orang yang namanya tertera di daun tersebut akan mati pada tahun mendatang. Masyarakat Jawa menggunakan hari tersebut untuk mengenang yang mati atau berziarah untuk memohon ampunan Allah atas nenek moyangnya dan dosa orang mukmin. Sesuai dengan tradisi tersebut, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyatakan bahwa pada malam nisfu (pertengahan) bulan Sya’ban, Allah turun ke surga yang paling rendah dan mengunjungi makhluk hidup untuk memberikan ampunan-Nya.[12] Pada malam hari ke-15 bulan Sya’ban, setelah shalat magrib orang-orang membaca surat Yasin tiga kali dan berpuasa esok harinya.
e.    Syawalan
Syawal merupakan bulan ke-10 dalam kalender Islam-Jawa. Sebagian kaum muslimin meneruskan puasa Ramadhan pada enam hari pertama di bulan Syawal. Hari Raya Syawal dilaksanakan dihari ke-8 bulan Syawal yang menandai berakhirnya puasa. Masyarakat Jawa biasanya merayakan hari Raya Syawal dengan acara kupatan[13] di mushola atau masjid. Masyarakat di daerah pantai biasanya merayakan hari Raya syawal dengan membuang sesaji ke pantai.
2.    Perayaan dan Peringatan Siklus Hidup
Perayaan dan peringatan siklus hidup meliputi perayaan  kehamilan, kelahiran dan pacsa-kelahiran, Khitanan, Pernikahan dan upacara Kematian.
a.    Perayaan Kehamilan
Dalam budaya Jawa, slametan kehamilan  diadakan ketika usia kehamilan 4, 7 dan 9 bulan. Menurut hadis riwayat Bukhori Muslim dari Abi Abd al-Rahman ibn Mas’ud menyatakan bahwa masing-masing tahap kehamilan memerlukan waktu 40 hari. Periode 40 hari yang ke-3 atau 4 bulan usia kehamilan, dianggap masa kritis karena pada tahap ini Allah meniupkan ruh kedalam daging, menghidupkannya dan menggariskan takdir serta ajalnya.[14] Untuk merayakan peristiwa ini dan mendoakan kesehatan sang ibu dan bayi yang dikandungnya, diadakan slametan yang disebut dengan ngupati.[15] Kemudian slametan ketika usia kandungan 7 bulan yang disebut mitui, slametan biasanya dilakukan di rumah, baik dengan bertahlil atau marhabanan. Berkat yang disajikan dalam slametan ditandai dengan adanya rujak. Dari cita rasa rujak yang khas, terdapat kiasan bahwa apabila bayi terlahir, dan kelak akan berfungsi penuh sebagai makhluk sosial.
b.   Upacara Kelahiran dan Pasca Kelahiran
Setelah bayi terlahir, diadakan slametan kecil pertama yang disebut bancakan[16]. Fungsinya adalah untuk mengumumkan bahwa telah lahir bayi diantara mereka. Yang kedua adalah slametan puputan, ketika tali pusar terlepas (puput). Dalam slametan ini diseispkan sega bugana (nasi uduk) untuk para tetangga. Kata bugana berasal dari bahasa Arab bi-ghina, berarti keadaan berlimpah, yang mengggambarkan bahwa Allah akan memelihara anak dalam kelebihan.
Selanjutnya adalah slametan pencukuran rambut. Cukuran pertama dilakukan saat bayi berusia 40 hari. Untuk slametan ini dihidangkan bubur abang putih (bubur merah putih) pada pagi hari. Dimalam hari, bagi keluarga yang mampu, diadakan kekah (aqiqah), yang secara tegas dilakukan Nabi untuk penamaan dan pencukuran bayi. Pada acara ini seekor kambing atau domba disembelih untuk bayi perempuan, dan dua ekor untuk bayi laki-laki.
c.    Khitanan
Khitanan sudah dilakukan di Jawa sebelum Islam, namun demikian, praktik khitan merupakan tanda keberhasilan Islam atas tradisi religius yang sudah ada lebih dahulu. Pada era sekarang, khitan lazim dilakukan dan ada pendapat yang menyatakan bahwa khitanan adalah tanda kemusliman. Semua ini merupakan bukti yang jelas atas keberhasilan Islam. Khitanan tidak disebut-sebut dalam Al-Qur’an dan tidak hanya dilaksanakan oleh muslim, melainkan juga masyarakat lainnya (khususnya orang Yahudi dan masyarakat non Muslim di Indonesia bagian Timur); namun pada kenyataannya di Jawa dan di masyarakat muslim lain khitan telah menjadi tanda atau ciri praktik Islam.
Khitanan biasanya dilakukan ketika anak laki-laki berusia 7-10 tahun. Prosesinya berkisar dari perayaan sederhana hingga pesta besar-besaran, tergantung kemampuan kedudukan sosial orang tuanya.
d.   Pernikahan
Terdapat beberapa variasi proses upacara pernikahan, diantaranya ritual siraman, kerikan (pencukuran alis atau rambut lain di wajah), tunggak jati leluhur (mengunjungi makam leluhur), sungkem (sujud dipangkuan orang tua), nugel lawe (memotong benang), ngidek endog (menginjak telur hingga pecah) dan sawer (nasehat perkawinan).
Ritual-ritual tersebut boleh ada boleh tidak dalam upacara pernikahan, tergantung selera dan kedudukan sosial seseorang.  Dalam Islam yang terpenting adalah akad Ijab Kabul yang merupakan proses religius pelegiminasi hubunngan suami istri dan merupakan aktualisasi akad nikah.
e.    Upacara Kematian
Pada malam hari setelah pemakaman, orang-orang berkumpul di rumah keluarga yang ditinggalkan (ta’ziyah) untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan dan mendoakan keselamatan bagi mereka dan almarhum. Mereka membaca al-Qur’an, khususnya surah Yasin dan tahlil. Pada slametan dihari ketiga setelah kematian ini, makanan dan berkat disediakan. Slametan berupa tahlilan diselenggarakan lagi pada hari ke 40 (matang puluh), hari ke 100 (nyatus), hari peringatn pertama (mendak pisan), peringatan kedua (mendak pindo), dan akhirnya hari ke 1000 slametan terakhir.
III.   PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas mengenai Interelasi Islam dan Budaya Jawa dalam Aspek Kepercayaan dan Aspek Ritual, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Kedatangan Islam di Jawa membawa dampak positif terhadap masyarakat Jawa, sehingga terjadi akulturasi anatara budaya Jawa dan Islam. Terdapat dua cara akulturasasi budaya Jawa dan Islam, yaitu: proses pemasukan corak-corak Islam dalam budaya Jawa baik secara formal maupun substansial (Islamisasi Kultur Jawa) dan pemasukan nilai-nilai budaya Jawa kedalam ajaran-ajaran Islam (Jawanisasi Islam).
2.      Sebelum Isam datang ke Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kepercayaan animisme-dinamisme, dan kepercayaan hindhu-budha. Setelah Islam datang, Islam mengubah kebudayaan Jawa yang senang menyembah ruh-ruh leluhur pada pohon diubah menjadi menyembah Allah melalui shalat. Islam toleran terhadap kebudayan dan kepercayaan setempat, sehingga ajaran Islam lebih mudah diserap oleh masyarakat Jawa.
3.      Ritual-ritual adat Jawa tidak membahayakan terhadap keyakinan Islam, karena ritual-ritual tersebut bertujuan untuk penghambaaan, permohonan ampun, perlindungan dan rasa syukur yang ditujukan hanya kepada Allah SWT. Dengan prosesi sebagaimana adat jawa. Contoh ritual dari interelasi antara budaya  Jawa dan Islam adalah; perayaan hari-hari besar Islam, perayaan kehamilan, perayaan kelahiran, perayaan pernikahan, khitanan,dan upacara kematian.
B.     Kritik dan Saran
        Alhamdulillah penulis telah menyelesaikan makalah dengan judul “Interelasi Islam dan Budaya Jawa dalam Aspek Kepercayaan dan Aspek Ritual”. Makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan untuk memperoleh pengetahuan tentang Islam dalam budaya Jawa pada aspek kepercayaan dan ritual. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis membutuhkan kritik dan saran dari pembaca baik pada isi dalam makalah maupun yang lainnya supaya penulis dapat menulis makalah lebih baik pada penulisan makalah berikutnya.


Daftar Pustaka

AG, Muhaimin. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Jakarta: Logos. 2002.
Khalim, Samidi. Islam & Spiritualitas Jawa. Semarang: RaSAIL . 2008. 
Muchtarom, Zaini. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah. 2002.
Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013.
Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. 2005.












           [1] Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013. Hlm.41
           [2] Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013. Hlm.43
           [3] Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013. Hlm.44-45.
           [4] Samidi Khalim. Islam & Spiritualitas Jawa. Semarang: RaSAIL . 2008.  Hlm. 49-50.
[5] Zaini Muchtarom. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah. 2002. Hlm.57
[6] Zaini Muchtarom. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah. 2002. Hlm.59-60
           [7] Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013. Hlm.45.
[8] Nur Syam. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. 2005. Hlm.19.
[9] Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013. Hlm.46
[10] Muhaimin AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Jakarta: Logos. 2002. Hlm.175-176.
           [11] Berzanji berisi pujian berbahasa Arab yang meninggikan dan memuji sang Rasul dan keluarganya.
[12] Muhaimin AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Jakarta: Logos. 2002. Hlm.194.

[13] Kupatan adalah makan kupat bersama-sama. Kupat merupakan makanan khas Jawa yang terbuat dari berasi dan dibungkus oleh daun kelapa yang masih muda.
[14] Muhaimin AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Jakarta: Logos. 2002. Hlm.201.


            [15] Ngupati merupakan salah satu acara slametan yang ditandai dengan ketupat di dalam berkat.
[16] Bancakan adalah nasi dan makanan yang diletakkan di wadah datar daun pisang dan dibagikan kepada anak-anak tetangga sekililing rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar