MAKALAH
INTERRELASI NILAI JAWA
DAN ISLAM PADA ASPEK KEPERCAYAAN DAN RITUAL
Dipresentasikan dalam
Mata Kuliah
Islam
dan Kebudayaan Jawa
yang diampu oleh: M.
Rikza Chamami, MSI
Oleh:
Hamam Nasirudin (103611003)
Wahyu
Bunga Sari (133611024)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di dalam kehidupan ini, tidak ada
sesuatu yang tidak mengalami perubahan. Termasuk juga budaya, perubahan budaya
tentunya tidak hanya menyangkut budaya material, tetapi menyangkut pula
perubahan pada aspek kognitif, tindakan dan simbol-simbolnya. Perubahan budaya
masyarakat Jawa-Islam terlihat dari tradisi lokal dalam arti dilakukan
berdasarkan lokalitasnya ke arah tradisi Islam lokal, yaitu tradisi Islam dalam
konteks lokalitas Jawa. Perubahan tersebut mengarah ke dimensi akulturasi dan
bukan adaptasi, karena didalam perubahan itu tidak terjadi proses meniru atau
menyesuaikan, akan tetapi mengakomodasi dua elemen menjadi satu kesatuan baru. Didalam
akulturasi tersebut ada unsur yang dimasukkan dan ada unsur yang dibuang. Untuk
memahami bagaimana proses akulturasi Islam dalam budaya Jawa, pada makalah ini
akan dibahas tentang akulturasi budaya Jawa dan Islam, interelasi budaya Jawa
dan Islam pada aspek kepercayaan serta interelasi budaya Jawa dan Islam pada
aspek ritual.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Akulturasi Budaya Jawa dan Islam?
2.
Bagaimana Interelasi
Budaya Jawa dan Islam pada Aspek Kepercayaan?
3.
Bagaimana Interelasi
Budaya Jawa dan Islam pada Aspek Ritual?
II.
PEMBAHASAN
A.
Akulturasi
Budaya Jawa dan Islam
Agama Islam yang datang ke Indonesia
adalah agama asing, karena hampir disemua wilayah Nusantara masyarakatnya telah
memiliki kepercayaan dan tradisi yang sudah mapan. Dalam antropologi budaya
terdapat beragam suku dan budaya, salah satunya adalah suku Jawa. Sebelum
datangnya agama-agama asing dari luar, masyarakat Jawa telah memiliki
kepercayaan sendiri. Kepercayaan terhadap kekuatan magic dan pemujaan terhadap
ruh-ruh leluhur (animisme-dinamisme). Mistik merupakan ajaran yang telah lama
dikenal dan diyakini oleh orang Jawa. Kedatangan bangsa India (Hindhu-Budha)
juga mengajarkan mistik, yang kemudian diserap dan diolah oleh masyarakat Jawa.
Terdapat dua pendekatan dalam proses
penyebaran Islam di Jawa. Pendekatan pertama disebut “Islamisasi Kultur Jawa”.
Islamisasi kultur Jawa adalah proses pemasukan corak-corak Islam dalam budaya
Jawa baik secara formal maupun substansial. Contoh adanya Islamisasi Kultur
Jawa adalah slametan, slametan berasal dari Bahasa Arab salima-yasalamu-salaman
yang berarti selamat. Upacara dugderan, merupakan upacara tradisional
masyarakat Semarang bernuansa religius yang diadakan 1 hari menjelang datangnya
bulan suci Ramadhan. Kata “dugder” diambil dari perpaduan bunyi bedug yang
ditabuh oleh kanjeng Bupati Semarang sebagai bunyi dug dengan disertai
bunyi meriam yang diasumsikan dengan bunyi der, sehingga terpadu menjadi
dugder. [1]
Pendekatan kedua disebut Jawanisasi
Islam. Jawanisasi Islam adalah pemasukan nilai-nilai budaya Jawa kedalam
ajaran-ajaran Islam. Contohnya dalam tembang Jawa berikut:
“Tak uwisi gunem iki Niyatku mung aweh
wikan Kabatinan akeh lire. Lan gawat ka liwat-liwat. Mulo dipun prayitno Ojo
keliru pamilihmu Lamun mardi kebatinan”.
Yang artinya:
“Saya akhiri pembicaraan ini saya hanya
ingin memberi tahu Kabatinan banyak macamnya Dan artinya sangat gawat Maka itu
berhati-hatilah Jangan kamu salah piih Kalau belajar kebatinan” (Akbar Taksisman, tth: 5-6).
Jika diperhatikan, arti dari tembang
ini adalah pesan orang tua kepada anaknya bahwa perlu dipahami tujuan hakiki dari
kejawen adalah mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada
dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula lan Gusti (jumbuhing kawula
Gusti) atau pendekatan kepada yang maha kuasa secara total (Akbar Taksisman,
t.th.: 6). Dan dalam Islam-pun konsep ini dianjurkan, yaitu anjuran mempelajari
ilmu Tauhid.[2]
B.
Interelasi
Budaya Jawa dan Islam pada Aspek Kepercayaan
Budaya Jawa sudah ada sejak zaman
prasejarah, sejak masyarakat Jawa itu sendiri ada, dengan budaya yang bertumpu
pada religi animisme-dinamisme. Dasar pemikiran religi animisme-dinamisme yaitu
adanya kepercayaan tentang kekuatan atau energi yang mendiami benda-benda
(keramat) dan adanya roh-roh halus (termasuk arwah para leluhur) yang menempati
alam sekeliling mereka.
Sebelum kedatangan Islam di Jawa,
Hindhu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan Animisme dan Dinamisme
telah berurut akar dikalangan masyarakat Jawa. Dengan datangnya Islam terjadi
pergumulan antara Islam disatu pihak , dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada
sebelumnya dipihak lain. Akibatnya, muncul
kelompok-kelompok masyarakat dalam menerima Islam.
Geertz mengelompokkan masyarakat Jawa
kedalam kategori sebagi berikut:
1.
Santri, yaitu
golongan masyarakat Islam yang beragama Islam dan memegang teguh syariat Islam.
Mengerjakan segala kewajiban, semacam sholat, zakat, puasa dan meninggalkan
segala keharaman, tidak makan babi, tidak membuat sesajen dan sebagainya.
2.
Abangan,
yaitu golongan masyarakat Jawa yang beragama Islam namun kurang memegang teguh
syariat Islam. Masyarakat yang tergolong dalam kategori ini tidak sholat, puasa
dan sebagainya. Dan masih mengerjakan amalan-amalan berbau Hindu semacam
sesajen, grebegan dan lainnya.
3.
Priyayi,
yaitu golongan masyarakat Jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau
bangsawan. Mereka menempati posisi yang dimuliakan baik oleh kalangan santri
maupun abangan, terlepas dari cara keberagaman mereka. (Mahardhika Zifani,
2008:11)[3].
Pada pengamalan kepercayaan atau praktek keagamaan antara golongan
santri dan golongan abangan dapat dibedakan dari cara-cara mereka melakukan
ibadah, kepatuhannya terhadap syariat Islam. Kaum santri berbeda dari kaum priyayi
atau orang Jawa Kejawen (abangan) dalam mengamalkan ajarannya. Kaum santri
berusaha untuk mengatur hidup mereka menurut aturan-aturan agama Islam,
sedangkan kaum abangan lebih cenderung mengatur hidupnya berdasarkan
tradisi-tradisi kerajaan yang notabene-nya merupakan warisan pra Islam
yang sudah berbaur dengan ajaran-ajaran Islam.[4]
Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut hyang
atau yang yang berarti “Tuhan”. Tuhan dalam bahasa Jawa terkadang
dinamakan Hyang Maha Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Shalat sehari-hari
(sālah dalam bahasa Arab) disebut sembahyang
dalam bahasa Jawa. Kata ini berasal dari kata sembah yang berarti “penyembahan” dan yang, artinya
“Tuhan”.[5]
Ibadah orang abangan meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh
halus, upacara cocok tanam dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan
kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam agama Jawa
tradisional adalah slametan (selamatan, kenduri). Hal ini merupakan
acara agama yang paling umum diantara para abangan, dan melambangkan persatuan
mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam selamatan tersebut.[6]
Sikap yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan
setempat, disatu sisi dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi dan
pencampur adukan antara Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lama, sehingga
sulit dibedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan mana yang berasal dari
tradisi. Namun, aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut telah
menjadi media yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai
agama mereka yang baru. Dan ajaran-ajaran tersebut telah memudahkan pihak Islam
pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga
memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan agama Islam kepada
masyarakat Jawa.[7]
C.
Interelasi
Budaya Jawa dan Islam pada Aspek Ritual
Ritual adalah seperangkat tindakan yang
selalu melibatkan agama atau magi, yang dimantapkan melalui tradisi. Menurut Dhavamony
(2000:175) ritual dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1.
Tindakan
magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena
daya-daya mistis.
2.
Tindakan
religius
3.
Ritual
konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk
pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan
menjadi khas.
4.
Ritual
faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan atau pemurnian dan
perlindungan untuk meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.[8]
Masyarakat Jawa sebelum Islam datang, mereka menyukai kegiatan mistik
dan melakukan ritual untuk mendapatkan kemampuan supranatural. Para pengembang
ajaran Islam di pulau Jawa (Wali Songo) tidak menolak tradisi Jawa tersebut.
Melainkan memanfaatkannnya sebagai media untuk menyebarkan Islam. Para wali
menyusun dengan lelaku yang lebih Islami, misalnya puasa, wirid mantra bahasa
campuran Arab-Jawa yang intinya adalah do’a kepada Allah SWT. Mantra tidak
disususun menggunakan bahasa Arab secara keseluruhan supaya orang Jawa tidak
merasa asing dengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal. Misalnya, kidung
“Rumeksa Ing Wengi” yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga.[9]
Ritual-ritual adat dalam bentuknya yang sekarang tidak membahayakan
keyakinan Islam. Bahkan telah digolongkan sebagai manifestasi keyakinan itu
sendiri dan digunakan sebagai syi’ar Islam khas daerah tertentu. Salah satu
contoh ritual adat budaya Jawa Islam adalah perayaan hari-hari besar Islam,
syukuran atau tasyakuran dan slametan.
1.
Perayaan
Hari-Hari Besar Islam
a.
Suroan
Suroan berarti merayakan atau
memperingati suro yaitu hari ke-10 bulan Muharram. Menurut kayakinan masyarakat
Jawa, hari ‘asyura mengingatkan akan sejumlah peristiwa penting. Pada
tanggal 10 Muharram, rasul pertama Allah, Adam diturunkan ke Bumi; Allah
memberi kebaikan-Nya kepada Adam dan Hawa ketika mereka bertobat setelah diusir
dari surga; Idris diberkahi oleh Allah dengan kedudukan yang mulia; Nuh dan
muridnya selamat dengan perahunya; Ibrahim selamat tanpa luka setelah dibakar
oleh raja Namrudz dari Babilonia; Musa mendapat wahyu secara langsung dari
Allah di gurun Sinai; ‘asyura juga merupakan kelahiran Isa dan
kenaikannya ke surga; hari ketika Nabi Muhammmad menikahi Khadijah; dan
merupakan hari penciptaan langit, bumi, Adam dan Hawa.[10]
Untuk memperingati peristiwa penting
yang begitu banyak tersebut, masyarakat Jawa melakukan Slametan atau
sedekah yang diyakini merupakan suatu bentuk ibadah.
b.
Saparan
Al Dairaby menegaskan bahwa setiap tahun
Allah menyertakan 350.000 kecelakaan dan bencana yang banyak pada hari Rabu
terakhir bulan Shafar. Hari ini menjadi hari yang paling berbahaya dalam
setahun. Supaya terhindar dari bencana, pada rebo wekasan, masyarakat
Jawa biasanya mengadakan slametan supaya terhindar dari berbagai bahaya yang
jatuh di bulan Shafar.
c.
Mauludan atau
Rajaban
Mauludan berarti merayakan m(a)ulud
(mawlid=hari lahir), kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal,
bulan ketiga kalender Islam Jawa. Pada tanggal 1-12 Rabi’ul Awwal, masyarakat
Jawa memperingatinya dengan membaca berzanji[11] di
masjid, mushola ataupun ditempat ngaji. Sedangkan rajaban berarti merayakan
peristiwa yang terjadi di bulan Rajab, yaitu Isra’ Mi’raj yang terjadi pada
malam 27 Rajab, bulan ketujuh kalender Islam-Jawa.
d.
Ruwahan
Ruwahan diadakan dalam rangka
memperingati bulan Ruwah atau bulan kedelapan kalender Jawa yang bertepatan
dengan bulan Sya’ban. Ruwah berasal dari bahasa Arab ruh (jamak: arwah) yang
berarti jiwa. Menurut tradisi Jawa, pada malam tanggal 15, pertengahan bulan
Ruwah (Nisfu Sya’ban), pohon kehidupan yang pada daunnya tertulis nama-nama
manusia bergoyah. Jika daun gugur, ini berarti orang yang namanya tertera di
daun tersebut akan mati pada tahun mendatang. Masyarakat Jawa menggunakan hari
tersebut untuk mengenang yang mati atau berziarah untuk memohon ampunan Allah
atas nenek moyangnya dan dosa orang mukmin. Sesuai dengan tradisi tersebut,
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyatakan bahwa pada malam nisfu
(pertengahan) bulan Sya’ban, Allah turun ke surga yang paling rendah dan
mengunjungi makhluk hidup untuk memberikan ampunan-Nya.[12] Pada
malam hari ke-15 bulan Sya’ban, setelah shalat magrib orang-orang membaca surat
Yasin tiga kali dan berpuasa esok harinya.
e.
Syawalan
Syawal merupakan bulan ke-10 dalam
kalender Islam-Jawa. Sebagian kaum muslimin meneruskan puasa Ramadhan pada enam
hari pertama di bulan Syawal. Hari Raya Syawal dilaksanakan dihari ke-8
bulan Syawal yang menandai berakhirnya puasa. Masyarakat Jawa biasanya
merayakan hari Raya Syawal dengan acara kupatan[13] di
mushola atau masjid. Masyarakat di daerah pantai biasanya merayakan hari Raya
syawal dengan membuang sesaji ke pantai.
2.
Perayaan dan
Peringatan Siklus Hidup
Perayaan dan peringatan siklus hidup
meliputi perayaan kehamilan, kelahiran
dan pacsa-kelahiran, Khitanan, Pernikahan dan upacara Kematian.
a.
Perayaan
Kehamilan
Dalam budaya Jawa, slametan
kehamilan diadakan ketika usia kehamilan
4, 7 dan 9 bulan. Menurut hadis riwayat Bukhori Muslim dari Abi Abd al-Rahman
ibn Mas’ud menyatakan bahwa masing-masing tahap kehamilan memerlukan waktu 40
hari. Periode 40 hari yang ke-3 atau 4 bulan usia kehamilan, dianggap masa
kritis karena pada tahap ini Allah meniupkan ruh kedalam daging,
menghidupkannya dan menggariskan takdir serta ajalnya.[14] Untuk
merayakan peristiwa ini dan mendoakan kesehatan sang ibu dan bayi yang
dikandungnya, diadakan slametan yang disebut dengan ngupati.[15]
Kemudian slametan ketika usia kandungan 7 bulan yang disebut mitui, slametan
biasanya dilakukan di rumah, baik dengan bertahlil atau marhabanan. Berkat yang
disajikan dalam slametan ditandai dengan adanya rujak. Dari cita rasa rujak
yang khas, terdapat kiasan bahwa apabila bayi terlahir, dan kelak akan
berfungsi penuh sebagai makhluk sosial.
b.
Upacara
Kelahiran dan Pasca Kelahiran
Setelah bayi terlahir, diadakan slametan
kecil pertama yang disebut bancakan[16]. Fungsinya adalah
untuk mengumumkan bahwa telah lahir bayi diantara mereka. Yang kedua adalah
slametan puputan, ketika tali pusar terlepas (puput). Dalam slametan ini
diseispkan sega bugana (nasi uduk) untuk para tetangga. Kata bugana
berasal dari bahasa Arab bi-ghina, berarti keadaan berlimpah, yang
mengggambarkan bahwa Allah akan memelihara anak dalam kelebihan.
Selanjutnya adalah slametan pencukuran
rambut. Cukuran pertama dilakukan saat bayi berusia 40 hari. Untuk slametan ini
dihidangkan bubur abang putih (bubur merah putih) pada pagi hari.
Dimalam hari, bagi keluarga yang mampu, diadakan kekah (aqiqah), yang
secara tegas dilakukan Nabi untuk penamaan dan pencukuran bayi. Pada acara ini
seekor kambing atau domba disembelih untuk bayi perempuan, dan dua ekor untuk
bayi laki-laki.
c.
Khitanan
Khitanan sudah dilakukan di Jawa sebelum
Islam, namun demikian, praktik khitan merupakan tanda keberhasilan Islam atas
tradisi religius yang sudah ada lebih dahulu. Pada era sekarang, khitan lazim
dilakukan dan ada pendapat yang menyatakan bahwa khitanan adalah tanda
kemusliman. Semua ini merupakan bukti yang jelas atas keberhasilan Islam.
Khitanan tidak disebut-sebut dalam Al-Qur’an dan tidak hanya dilaksanakan oleh
muslim, melainkan juga masyarakat lainnya (khususnya orang Yahudi dan
masyarakat non Muslim di Indonesia bagian Timur); namun pada kenyataannya di
Jawa dan di masyarakat muslim lain khitan telah menjadi tanda atau ciri praktik
Islam.
Khitanan biasanya dilakukan ketika anak
laki-laki berusia 7-10 tahun. Prosesinya berkisar dari perayaan sederhana
hingga pesta besar-besaran, tergantung kemampuan kedudukan sosial orang tuanya.
d.
Pernikahan
Terdapat beberapa variasi proses upacara
pernikahan, diantaranya ritual siraman, kerikan (pencukuran alis atau
rambut lain di wajah), tunggak jati leluhur (mengunjungi makam leluhur),
sungkem (sujud dipangkuan orang tua), nugel lawe (memotong
benang), ngidek endog (menginjak telur hingga pecah) dan sawer
(nasehat perkawinan).
Ritual-ritual tersebut boleh ada boleh
tidak dalam upacara pernikahan, tergantung selera dan kedudukan sosial
seseorang. Dalam Islam yang terpenting
adalah akad Ijab Kabul yang merupakan proses religius pelegiminasi hubunngan
suami istri dan merupakan aktualisasi akad nikah.
e.
Upacara
Kematian
Pada malam hari setelah pemakaman,
orang-orang berkumpul di rumah keluarga yang ditinggalkan (ta’ziyah) untuk
menghibur keluarga yang ditinggalkan dan mendoakan keselamatan bagi mereka dan
almarhum. Mereka membaca al-Qur’an, khususnya surah Yasin dan tahlil. Pada
slametan dihari ketiga setelah kematian ini, makanan dan berkat disediakan.
Slametan berupa tahlilan diselenggarakan lagi pada hari ke 40 (matang puluh),
hari ke 100 (nyatus), hari peringatn pertama (mendak pisan),
peringatan kedua (mendak pindo), dan akhirnya hari ke 1000 slametan
terakhir.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas
mengenai Interelasi Islam dan Budaya Jawa dalam Aspek Kepercayaan dan Aspek
Ritual, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Kedatangan
Islam di Jawa membawa dampak positif terhadap masyarakat Jawa, sehingga terjadi
akulturasi anatara budaya Jawa dan Islam. Terdapat dua cara akulturasasi budaya
Jawa dan Islam, yaitu: proses pemasukan corak-corak Islam dalam budaya Jawa
baik secara formal maupun substansial (Islamisasi Kultur Jawa) dan pemasukan
nilai-nilai budaya Jawa kedalam ajaran-ajaran Islam (Jawanisasi Islam).
2.
Sebelum Isam
datang ke Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kepercayaan animisme-dinamisme,
dan kepercayaan hindhu-budha. Setelah Islam datang, Islam mengubah kebudayaan
Jawa yang senang menyembah ruh-ruh leluhur pada pohon diubah menjadi menyembah
Allah melalui shalat. Islam toleran terhadap kebudayan dan kepercayaan
setempat, sehingga ajaran Islam lebih mudah diserap oleh masyarakat Jawa.
3.
Ritual-ritual
adat Jawa tidak membahayakan terhadap keyakinan Islam, karena ritual-ritual
tersebut bertujuan untuk penghambaaan, permohonan ampun, perlindungan dan rasa
syukur yang ditujukan hanya kepada Allah SWT. Dengan prosesi sebagaimana adat
jawa. Contoh ritual dari interelasi antara budaya Jawa dan Islam adalah; perayaan hari-hari
besar Islam, perayaan kehamilan, perayaan kelahiran, perayaan pernikahan,
khitanan,dan upacara kematian.
B.
Kritik dan
Saran
Alhamdulillah penulis telah menyelesaikan makalah dengan
judul “Interelasi Islam dan Budaya Jawa dalam Aspek Kepercayaan dan Aspek
Ritual”. Makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan untuk memperoleh
pengetahuan tentang Islam dalam budaya Jawa pada aspek kepercayaan dan ritual. Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca baik pada isi dalam makalah maupun
yang lainnya supaya penulis dapat menulis makalah lebih baik pada penulisan
makalah berikutnya.
Daftar Pustaka
AG,
Muhaimin. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Jakarta:
Logos. 2002.
Khalim,
Samidi. Islam & Spiritualitas Jawa. Semarang: RaSAIL . 2008.
Muchtarom,
Zaini. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan. Jakarta:
Salemba Diniyah. 2002.
Shodiq.
Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013.
Syam,
Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. 2005.
[1]
Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013. Hlm.41
[2]
Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013. Hlm.43
[3]
Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013. Hlm.44-45.
[4]
Samidi Khalim. Islam & Spiritualitas Jawa. Semarang: RaSAIL .
2008. Hlm. 49-50.
[5] Zaini Muchtarom. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan.
Jakarta: Salemba Diniyah. 2002. Hlm.57
[6] Zaini Muchtarom. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan.
Jakarta: Salemba Diniyah. 2002. Hlm.59-60
[7]
Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013. Hlm.45.
[8] Nur Syam. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. 2005.
Hlm.19.
[9] Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman. 2013.
Hlm.46
[10] Muhaimin AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon.
Jakarta: Logos. 2002. Hlm.175-176.
[11] Berzanji berisi pujian berbahasa Arab yang meninggikan dan memuji sang
Rasul dan keluarganya.
[12] Muhaimin AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon.
Jakarta: Logos. 2002. Hlm.194.
[13] Kupatan adalah makan kupat bersama-sama. Kupat merupakan makanan khas
Jawa yang terbuat dari berasi dan dibungkus oleh daun kelapa yang masih muda.
[14] Muhaimin AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon.
Jakarta: Logos. 2002. Hlm.201.
[15] Ngupati merupakan salah satu acara slametan yang ditandai dengan
ketupat di dalam berkat.
[16] Bancakan adalah nasi dan makanan yang diletakkan di wadah datar daun
pisang dan dibagikan kepada anak-anak tetangga sekililing rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar