Sabtu, 19 November 2016

Sejarah Peradaban Islam pada Masa Muawiyah Ibn Abi Sufyan

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA MU’AWIYAH IBN ABI SUFYAN
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Drs. Mat Sholikhin Noor M.Ag




Disusun Oleh:
Wahyu Bunga Sari      (133611024)
Dewi Khariroh            (133611043)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014




I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah merupakan bagian yang tidak boleh dilupakan dalam perjalanan hidup manusia. Sejarah tidak lain akan berguna untuk menunjukkan jalan bagi generasi penerus dan sebagai pelajaran tentang apa-apa yang telah terjadi di masa lampau.
  Sebagai umat Islam, sejarah Islam merupakan kajian yang tidak boleh diabaikan. Sejarah Islam berawal dari kemunculan para nabi dan rasul ke bumi dan berlangsung hingga zaman sekarang. Membahas sejarah Islam, berkaitan erat dengan peradaban Islam.Peradaban Islam mempunyai arti sebagai hasil karya, karsa, dan  cipta manusiayang berdasarkan nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Muawiyah merupakan salah satu sahabat nabi Muhammad SAW. Setelah kekhalifahan Khulafaurrasyiddin berakhir, Muawiyah naik tahta dan menjabat sebagai khalifah. Muawiyah merupakan seorang ahli dalam bidang Administrasi dan tegas. Lantas bagimana pemerintahannya berlangsung dan apa saja jasa-jasanya. Oleh karena itu, makalah ini kami buat untuk menjelaskan peradaban Islam pada masa Muawiyah ibn Abi Sufyan (bapak pendiri Bani Umawiyah).


B.     Rumusan Masalah
1.   Bagaimana biografi Muawiyah bin Abu Sufyan?
2.   Bagimana sejarah pengangkatan Muawiyah ibn Abi Sofyan sebagai khalifah (dinasti Umawiyah) ?
3.   Bagaimana pemerintahan pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan?
4.   Apa jasa-jasa Muawiyah bin Abu Sufyan?






II.                PEMBAHASAN
A.    Biografi Muawiyah bin Abu Sufyan
Nama lengkap Muawiyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia berasal dari bani (klan) Umawiyah.Muawiyah adalah laki-laki yang berperawakan tinggi, berkulit putih, tampan, dan penuh wibawa.
Umar bin Khattab juga berkata bahwa Muawiyah suka makan makanan yang lezat dan bergaya seperti raja. Umar berkata begitu bukan bermaksud menjelekkan Muawiyah tapi hanya menginformasikan ciri khas Muawiyah. Bisa dimengerti mengapa Muawiyah melakukan hal itu karena ia memang berasal dari kabilah terpandang di masyarakat.Ayahnya Muawiyah adalah Abu Sufyan bin Harb, seorang sahabat Nabi Muhammad. Sedangkan ibunya adalah Hindun binti Utbah, seorang sahabiyah (sahabat wanita) nabi Muhammad.
Pendapat yang terkenal mengatakan bahwa Muawiyah masuk Islam pada masa Penaklukkan Makkah. Namun, Muawiyah sendiri mengatakan bahwa, "aku masuk Islam dalam peristiwa Umrah Qadha tahun 7 H, tetapi aku menyembunyikannya dari bapakku". Hal itu dapat dimengerti karena situasi saat itu masih mencekam. Selain itu posisi Muawiyah cukup sulit, mengingat Abu Sufyan pada waktu itu masih kafir, bahkan Abu Sufyan adalah pemimpin Quraisy dalam melawan Nabi Muhammad. Muawiyah juga ikut perang Hunain dan Nabi Muhammad memberinya seratus unta dan 40 uqiyah emas dari harta rampasan perang Hunain.[1]
Mu’awiyah bin Abu Sufyan adalah pembangun daulat bani Umayyah (661-750 M) dan menjabat khalifah pertama (606-681 M) dari daulat tersebut, dengan memindahkan ibu kota dari Madinah Al-Munawaroh ke kota Damaskus di wilayah Suriah.
Kemudian mu’awiyah ikut dalam Perang Yarmuk dan membuka Syam dibawah pimpinan saudaranya Yazid. Dia juga berhasil menaklukan Qaisariyah dan sebagian pesisir wilayah Syam.
Dia meriwayatkan hadits dari Rasul SAW sebanyak 163 hadits,  beberapa sahabat dan tabi’in juga meriwayatkan  hadits darinya, antara lain; Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Darda’, dan lain sebagainya. Sedangkan dari kalangan tabi’in yakni; Sa’id bin Al Musayyib, Hamid bin Abd Rahman, dan lain-lain. Ia termasuk mempunyai kecerdasan dan kesabaran yang tinggi.
Mu’awiyah pernah dido’akan oleh Nabi dalam hadits riwayat Tirmidzi. Do’a tersebut berbunyi ”ya Allah jadikanlah dia orang yang memberi petunjuk jalan yang benar dan orang yang mendapat hidayah.” Mu’awiyah juga termasuk orang yang ahli dibidang politik, terutama ketika Khalifah Umar bin Khattab menjadi pemimpin umat Islam, terbukti ia ditunjuk menduduki jabatan Gubernur di Syiria. Suatu ketika ia meminta izin agar diperkenankan mengusir pasukan Romawi melalui laut, tetapi khalifah Umar melarangnya.Muawiyah wafat pada tahun 60 H dalam bulan April 680 M di Damaskus karena sakit.[2]
B.     Sejarah pengangkatan Muawiyah ibn Abi Sofyan sebagai khalifah (Dinasti Umawiyah)
Muawiyah yang cerdik itu memanfaatkan pembunuhan khalifah Usman untuk menjatuhkan khalifah Ali ibn Abi Thalib, karena ia menentang khalifah Ali memerintahkan padanya untuk meletakkan jabatannya sebagai gubernur di Siria. Dia membangkitkan kemarahan umat islam dengan memperlihatkan barang-barang peninggalan khalifah Usman ibn Affan beserta potongan jari bibi Naila, istri khalifah Usman yang terpotong ketika berusaha menyelamatkan suaminya. Muawiyah menuntut khalifah Ali menenmukan dan menghukum pembunuh khalifah Usman; kalu tidak, dia harus menerima sebagai pembunuh khalifah Usman.khalifah Ali bergerak dari Kufa dengan 50.000 pasukan untuk menumpas pemberontakan Muawiyah. Muawiyah pun telah membawa pasukan yang tidak kalah banyak dari pasukan khalifah Ali. Kedua pasukan itu berhadapan di medan Shiffin. Sebenarnya khalifah Ali tidak menginginkan adanya pertumpahan darah di antara umat islam dan mau menyelesaikan masalah itu dengan damai. Tapi, Muawiyah menuntut penghukuman segera bagi pembunuh khalifah Usman. Tidaklah mungkin pada waktu yang bersamaan khalifah Ali dapat mengatasi tuntutan Muawiyah. Muawiyah pun tidak menyetujui perdamaian bentuk apapun. Karena usaha perdamaian gagal, maka pertempuran pun meletus. Pada perang Shiffin hari kedua, karena keberanian dan kepemimpinan khlifah Ali dapat membersihkan wilayah Shiffin tersebut. Sebanyak 7000 orang islam gugur dalam pertempuran. Karena menghadapi kekalahan yang luar biasa, Muawiyah yang cerdik atas saran Amr ibn As, sekutunya yang cerdik, mengikatkan Al-Qur’an pada ujung tombak tentaranya dan dengan demikian menuntut agar perselisihan dapat diselesaikan menurut Al-Qur’an. Sebenarnya hal itu merupakan tipu daya yang lihai dari Muawiyah untuk menghindari bencana dan menipu khalifah Ali. Khalifah Ali sebenarnya sudah mengetahui tipu daya Muawiyah tersebut dan berniat melanjutkan pertempuran. Namun pasukan khalifah Ali menuntut untuk menghentikan pertempuran. Oleh karena itu, peperangan pun berhenti dan Muawiyah terhindar dari kehancuran.
Setelah pertempuran berhenti, diputuskanlah bahwa perselisihan itu harus diselesaikan oleh dua orang wasit atau utusan. Dari pihak Muawiyah mengutus Amr ibn Ash yang terkenal licik dan cerdik, sedangkan dari pihak khalifah Ali mengutus Abu Musa Al-Asy’ary. Sulit untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi dalam perwasitan itu. dikatakan bahwa Amr menerangkan agar Muawiyah dan Khalifah Ali sama-sama meletakkan jabatannya. Saat Abu Musa menyatakan peletakan jabatan khalifah Ali, Amar menerimanya dan menyatakan pengankatan Muawiyah untuk mengisi jabtan khalifah yang kosong. Cara perwasitan ini membuat marah pihak Ali dan akhirnya perwasitan itu hanyalah sebuah lelucon. Apapun yang benar dalam perwasitan itu, pastilah pihak Ali keluar sebagai pihak yang kalah dan Muawiyah adalah pihak yang menang. Sebagai akibat dari perwasita ini, pemilikan Muawiyah atas Mesir dan Siria juga dikukuhkan.[3]
     Khalifah Ali meninggal karena dibunuh oleh Ibn Muljam. Karena Hasan (putra khalifah Ali ibn Abi Thalib) memiliki tabi’at yang buruk, karena itu, Hasan mengajukan beberapa syarat jika Muawiyah ingin menggantikan jabatan ayahnya yaitu Khalifah Ali. Dan tanpa pikir panjang, Muawiyah menyetujui syarat-syarat yang Hasan ajukan dan akhirnya Muawiyah dibai’at sebagi khalifah. Syarat-syarat tersebut diantaranya:
1.      Agar Muawiyah tiada menaruh dendamterhadap seorang pun penduduk Irak.
2.      Menjamin keamanan dan mema’afkan kesalahan-kesalahan mereka.
3.      Agar pajak tanah Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap-tiap tahun
4.      Agar muawiyah membayar kepada saudaranya yaitu Husein, 2 juta dirham.
5.      Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.
Sesudah peristiwa penerimaan syarat oleh Muawiyah, Muawiyah masuk ke kota Kufah pada bulan Rabiul Awal tahu 41 H di mana ia bertemu dengan Hasan, lalu orang banyak bersama Hasan dan Husein membai’ah Muawiyah. Itulah sebabnya tahun itu disebut sebagai “tahun persatuan” atau “amul jamaah”. Karena rakyat telah bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah.[4]
C.     Pemerintahan pada masa Muawiyah
Khalifah Muawiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan
baik. Pemerintahannya didesentralisasikan dan kacau serta munculnya anarkisme dan ketidakdisiplinan kaum nomad yang tidak lagi dikendalikan  oleh ikatan agama dan moral menyababkan ketidakstabilan dimana-mana dan kehilangan kesatuan. Ikatan teokrasi yang telah dihancurkan oleh terbunuhnya khalifah Usman, oleh perang saudara sebagai akibatnya dan oleh pemindahan ibu kota dari madinah.
Muawiyah melakukan perubahan-perubahan menonjol dan besar pada masa pemerintahannya. Dasar yang sebenarnya dari pemerintahannya adalah angkatan daratnya yang kuat dan efisien. Dia mengandalkan pasukan orang-orang Siria yang setia kepadanya, dan muawiyah berusaha mendirikan pemerintahan yang stabil menurut garis-garis pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran sistem yang untuk pertama kali digunakannya itu.
Muawiyah merupakan orang pertama di dalam islam yang mendirikan suatu departemen pencatatan (diwanul kahatam) setiap peraturan yang dikeluarkan khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus di segel dan dikirimkan ke alamat yang dituju. Pelayanan pos (diwanul barid) kabarnya telah diperkenalkan oleh Muawiyah. Barid (kepala pos) memberi tahu kepada pemerintah pusat tentang apa yang terjadi di dalam pemerintahan provinsi. Dengan cara ini Muawiyah melaksanakan pemerintahan pusat. Muawiyah membentuk sekretariat-sekretariat yang medianya menggunakan bahasa arab, dan sekretariat provinsi yang menggunakan bahasa Yunani dan Persia. Sebagai seorang administrator yang berpandangan jauh, Muawiyah memisahkan  urusan keuangan dengan urusan pemerintahan. Dia mengangkat seorang gubernur di setiap provinsi untuk melaksanakan pemerintahan. Akan tetapi, untuk memungut pajak, di tiap-tiap provinsi dia mengangkat seorang pejabat khusus dengan gelar sahibul-kharaj. Pejabat ini tidak terikat dengan gubernur, dan dia diangkat oleh khalifah. Dalam masalah keuangan,gubernur harus menggantungkan dirinya pada sahibul-kharaj dan hal ini membatasi kekuasaan gubernur. Demikianlah Muawiyah mengembangkan suatu keadaan yang teratur dan terhindar dari kekacauan. [5]
Pada pemerintahan Muawiyah, terjadi pemberontakan oleh kaum Khawarij. Kaum Khawarij adalah kaum yang meminta dengan keras agar Ali menghentikan peperangan pada perang Shiffin agar dilakukan proses hukum melalui Al-Qur’an. Namun, mereka kemudian menolak hasil perundingan antara pihak Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib. Setelah itu mereka melakukan pemberontakan di harura’ dan melakukan pengrusakan di muka bumi. Mereka dibinasakan oleh Ali bin Abi Thalib melalui perang Nahrawand, namun banyak yang tersisa dari pasukannya. Salah seorang mereka berhasil membunuh Ali.
Pada masa pemerintahan Muawiyah melakukan beberapa kali pemberontkan di Kufah dan Bashrah, hingga kembali mereka dihancurkan. Gubernur Bashrah saat itu adalah Ziyad ibnu Abihi dan anaknya Abdullah Bin Ziayad. Mereka adalah dua orang yang sangat keras terhadap mereka.
Orang-orang khawarij adalah orang-orang kampung yang keras kepala, kaku, dan menginginkan manusia hanya ada dalam dua kubu: kafir dan mukmin. Maka, barang siapa yang siapa yang sesuai pandangan-pandangan mereka, maka mereka mengenggap oarang itu adalah seorang mukmin; dan barang siapa yang tidak sesuai dengan pandangan mereka, seseorang itu akan mereka anggap sebagai orang kafir. Mereka menuduh Utsman, Ali dan Mu’awiyah sebagai orang kafir.
Mereka selalu memerangi siapa saja yang tidak berada dalam jama’ah mereka dan menghalalkan darah kaum muslimin. Mereka adalah manusia-manusia yang sering menimbulkan bencana. Jika ditilik secara umum, kemenangan yang berhasil mereka capai adalah pada masa Bani Umayyah.[6]
Pembaiatan Yazid Bin Mu’awiyah
Sebelum masa pemerintahannnya berakhir, Mu’awiyah membaiat anaknya, Yazid Bin Mu’awiyah. Dengan demikian, dia adalah pemimpin kaum muslimin pertama yang melakukan itu. Diantara orang yang paling tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Mu’awiyah adalah Husein Bin Ali, Abdur Rahman bin Abu Bakar, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah ibnuz Zubair.
Muawiyah harus menghadapi persoalan yang sangat pelik dan penentangan sangat keras akibat keputusannya ini. Hingga akhirnya dia mampu menguasai persoalannya. Tentu saja apa yang dilakukan Muawiyah ini tidak boleh dilakukan dari sisi syari’ah. Sebab, khilafah ini terbuka untuk kaum muslimin dan tidak boleh dilakukan dengan cara mewariskan. Kekhilafan ini bisa dipegang oleh siapa saja yang memiliki kemampuan.
Pada masa pemerintahannya, Muawiyah selalu berusaha untuk menjadikan kaum muslimin berada dalam satu kata. Pada zamannya tidak ada seorang pun yang melakukan pemberontakan kecuali sebagian kecil kaum Khawarij, yang pengaruhnya sangatlah lemah. Pemerintahan Muawiyah sangat panjang, yaitu selama 20 tahun. Namun, kekuasannya diwarnai dengan situasi yang kondusif dan baik.
Pada masa pemerintahannya, dianggap sebagai salah satu masa pemerintahan paling baik dalam perjalanan kekuasaan Islam. Keamanan internal terjamin, dan unsur-unsur yang akan melakukan perlawanan terhadapnya selalu mengalami kekalahan. Dia berhasil melakukan penaklukkan-penaklukkan di semua medan dan diwarnai dengan kemenangan-kemenanga. Yang menjadi kritikan para sahabat terhadapnya dan anak-anak mereka adalah kerena Muawiyah mengambil baiat untuk anaknya. Dia meninggal pada tahun 60 H / 679 M. Dia adalah orang pertama yang membangun kantor-kantor pos di dalam islam dan membuat stempel.[7]
Penaklukan di masa pemerintahan Muawiyah ibn Abi Sofyan
a.     Wilayah Barat
Wilayah Romawi (Turki). Ketika itu selalu dilakukan pengintaian dan ekspedisi di sana.maksud dan tujuannya adalah menaklukkan Konstantinopel. Kota itu dikepung pada tahun 50 H/ 670 M kemudian pada tahu 53-61 H / 672-680 M, namun tidak berhasil ditaklukkan.
Muawiyah membentuk pasukan laut yang besar yang siaga di Laut Tengah dengan kekuatan 1700 kapal. Dengan kekuatan itu ia berhasil memetik berbagai kemenangan. Dia berhasil menaklukkan pulau Jarba di Tunisia pada tahun 49 H / 669 M, kepulauan Rhodesia pada tahun 53 M/ 673 M, kepulauan Kreta pada tahun 55 H/ 624 M, kepulauan Ijih di Konstantinopel pada tahun 57 M / 680 M.
Di Afrika. Benzarat berhasil ditaklukkan pada tahun 41 H / 661 M, Qamuniyah (dekat Qayrawan) di taklukkan pada tahun 45 H / 665 M, Susat juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Uqbah bin Nafi’ berhasil menaklukkan Sirt, Mogadishu, Tharablis dan menaklukkan Wadan kembali. Kota Qayrawan dibangun pada tahun 50 M / 670 M. Kur sebuah wilayah di Sudan juga berhasil ditaklukkan. Akhirnya, penaklukkan ini sampai di Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbah bin Nafi’ adalah komandan paling terkenal di kawasan ini.
b.    Kawasan Timur (negeri Asia Tengah dan Sindh).
 Negeri-negeri Asia Tengah meliputi kawasan yang berada di antara Sayhun dan Jayhun. Di antara kerajaan terpenting adalah kerajaan Thakharistan dengan ibu kotanya Balkh, Shafaniyan dengan ibu kota Syawman, Saghat dengan ibu kota Samarkhand dan Bukhari, Farghanah dengan ibu kota Jahandah, Khawarizm, dengan ibu kora Jurjaniyah, Asyrusanah dengan ibu kota Banjakat, Syasi dengan ibu kota Bankats.
Mayoritas penduduk  di kawasan itu adalah kaum Paganis. Pasukan islam menyerang menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41 H / 661 M. Pada tahun 43 H / 663 M mereka mampu menaklukkan Sajistan dan menaklukkan sebagian wilayah Takharistan pada tahun 45 H / 665 M. Mereka sampai pada wilayah Quhistan. Pada tahun 44 H / 664 M Abdullah bin Ziyad tiba di pegunungan Bukhari.
Pada tahun 44 H / 664 M kaum muslimin menyerang Sindh dan India. Penduduk di tempat itu selalu melakukan pemberontakan sehinggan membuat kawasan itu tidak selamanya stabil kecuali di masa pemerintahan Walid bi Abdul malik.[8]
Di zaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan samapai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizamtium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahakan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.[9]
D.    Jasa-jasa Muawiyah bin Abu sufyan
Muawiyah merupakan orang pertama didalam Islam yang mendirikan suatu departemen pencatatan (diwanul khahatam). Muawiyah juga mendirikan pelayanan pos (diwanul barid). Pada masa pemerintahannya, keadaan politiknya stabil, dan hanya ada pemberontakan-pemberontakan tak berarti dan langsung bisa teratasi.
Administrasi negara yang dipimpin Muawiyah pun tertata rapi, dengan diangkatnya pejabat khusus pajak (sahibul-kharaj) di tiap provinsi yang kewenangannya tidak dibatasi oleh gubernur.[10]
Penaklukkan wilyah-wilayah di daerah timur (Thakharistan, Balkh, Samarkhand, Bukhara, Farganah, Khawarizm,Asyrussanah, dan Syasi) dan barat (yang meliputi penaklukkan Konstantinopel, kepulauan Kreta, kepulauan Ijih, Benzarat, Qamuniyah, Sirt, Mogadishu, Tharablis, Wadan dan Aljazair.)[11]

IV. KESIMPULAN
Muawiyah Nama lengkap Muawiyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia berasal dari bani (klan) Umawiyah.Muawiyah adalah laki-laki yang berperawakan tinggi, berkulit putih, tampan, dan penuh wibawa.
Muawiyah menjadi Khlifah karena meletusnya perang Shiffin melawan khalifa Ali Ibn Thalib. Ia dibai’at oleh banyak orang sebagi khalifah pada tahun persatuan atau amul Jamaah.
Pada masa pemerintahannya, Muawiyah melakukan perubahan-perubahan menonjol dan besar pada masa pemerintahannya. Dasar yang sebenarnya dari pemerintahannya adalah angkatan daratnya yang kuat dan efisien. Penaklukkan di masa pemerintahannya meliputi wilyah-wilayah di daerah timur (Thakharistan, Balkh, Samarkhand, Bukhara, Farganah, Khawarizm, Asyrussanah, dan Syasi) dan barat (yang meliputi penaklukkan Konstantinopel, kepulauan Kreta, kepulauan Ijih, Benzarat, Qamuniyah, Sirt, Mogadishu, Tharablis, Wadan dan Aljazair.
Muawiyah wafat pada tahun 60 H dalam bulan April 680 M di Damaskus karena sakit.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami buat guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Kami menyadari masih terdapat kekurangan pada makalah kami ini, untuk mencapai kesempurnaan pada masa yang akan datang, maka kami memohon kritik dan saran yang membangun. Atas kritik dan sarannya, kami ucapkan terima kasih.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad. 2013. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX. Jakarta: Akbar Media.
Mahmudunnasir, Syed. 2005. Islam Konsep dan Sejarahnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syalabi, A. 2000. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra.
Yatim, Badri. 1995. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.  Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://id.wikipedia.org/wiki/Muawiyah_bin_Abu_Sufyan, diakses tanggal 14 Oktober 2014 pukul 17:30 WIB.



[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Muawiyah_bin_Abu_Sufyan, diakses tanggal 14 Oktober 2014 pukul 17:30 WIB.
[2]Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2013), hlm. 186-187.
[3]Syed Mahmudunnasir, Sejarah Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 168-169.
[4]A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan 2, ( Jakarta : Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 34-35.
[5]Syed Mahmudunnasir, Sejarah Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 175-176.
[6]Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2013), hlm. 190.

[7]Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2013), hlm. 191.
[8]Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2013),hlm. 188-189.
[9]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 1995, hlm.43.
[10]Syed Mahmudunnasir, Sejarah Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 175.
[11]Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2013), hlm. 189.

Kebebasan Manusia dan Kehendak Tuhan

KEBEBASAN MANUSIA DAN KEHENDAK TUHAN
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tauhid
Dosen Pengampu : Hasyim Muhammad, M.Ag



Di susun oleh:
Putri Meindri Permatasari    (133611006)
Qonita Alfi Navila                  (133611032)
Restianingsih                         (133611028)
Utlatun Nisa’                         (133611022)
Wahyu Bunga Sari                 (133611024)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
 2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Keinginan  manusia  untuk  hidup  dengan  bebas merdeka merupakan salah satu keinginan insani yang amat mendasar.[1] Karena adanya naluri manusia yang tidak ingin terikat oleh aturan-aturan yang menjadikan belenggu karena manusia memiliki potensi yang lebih tinggi dari pada potensi hewan. Dan sebagai hamba Allah seharusnya, manusia harus berusaha keras untuk mempertahankan hidup dan merubah nasibnya.
Setelah berusaha untuk merubah hidupnya, manusia akan menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT yang menghendaki semuanya. Titik tolak untuk mempersoalkan kebebasan manusia dan jawaban-jawaban yang diberikan terhadap persoalan itu bukan saja sering kali tidak sama, bahkan tidak jarang saling bertentangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pemikiran tentang kebebasan selalu mengandung  kontroversi.[2] Perselisihan pendapat itu dapat dimengerti bila kita menyadari bahwa kebebasan manusia bukanlah kebebasan mutlak atau “murni” melainkan kebebasan yang  relatif, karena dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia sebagai kebebasan yang relatif atau “bersituasi”, kebebasan manusia selalu tercampur dengan ketidakbebasan.[3] Akan tetapi sebagai situasi dan kondisi manusia bukanlah satu-satunya faktor yang menghalangi atau membatasi
Dalam hal perbuatan, perbuatannya tidak terikat pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa kebebasan dalam Islam tidak bersifat absolut, dalam Islam yang mempunyai keabsolutan dan ketidakterbatasan hanyalah Allah sedangkan yang lain mempunyai terbatas. Manusia sebagai makhluk individu dan kolektif selalu terdorong oleh kecenderungan yang tiada habisnya untuk merealisasikan diri.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Apa pengertian kebebasan?
2.    Bagaimana kebebasan manusia dalam islam?
3.    Bagaimana pandangan para pemikir mengenai kebebasan manusia dan kehendak Tuhan?
4.    Bagaimana perbedaan kebebasan manusia dalam perspektif alaran-aliran teologi islam?
BAB II
KEBABASAN MANUSIA dan KEHENDAK TUHAN



A.    Pengertian Kebebasan

Kebebasan menurut bahasa berasal dari kata “bebas” yang mempunyai beberapa arti :
1.    Lepas sama sekali (tidak terlarang, terganggu, dan sebagainya sehingga boleh bergerak, bercakap, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa). Misalnya tiap-tiap anggota untuk melahirkan pendapatnya.
2.    Lepas dari (kewajiban, tuntutan, ketakutan, dan sebagainya) tidak dikenakan (pajak, hukuman, dan sebagainya) tidak terikat atau terbatas misalnya perasaan takut dan khawatir dari kewajiban membayar ganti rugi.
3.    Merdeka (tidak diperintah atau sangat dipengaruhi negara lain)[4]

Para filosof memberikan pengertian bahwa kebebasan adalah kemampuan untuk memilih dengan merdeka. Setiap hari pasti kita membuat keputusan untuk memilih dan melakukan pilihannya secara bebas, namun bertangung jawab. Bagi filosof, kebebasan tidak berarti kebebasan politik, ekonomi, atau fisik, akan tetapi berarti : kemampuan untuk memilih secara merdeka. Misalnya kita membuat keputusan, baik itu memesan sesuatu di restoran, memakai pakaian dan melihat program TV yang diinginkan, atau keputusan-keputusan yang mempunyai akibat-akibat yang jauh.
Kebebasan adalah tanda martabat manusia sebagai makhluk yang tidak hanya alamiah dan terikat pada kekuatan-kekuatan alam melainkan karena akal budinya mengatasi keterbatasan alam. Kebebasan juga ditafsirkan dengan bentuk ungkapan seperti “saya bebas karena saya berbuat sesuai dengan apa yang saya inginkan” atau “saya bebas karena dapat memilih apa yang ingin saya perbuat”.




B.     Kebebasan Manusia dalam Islam

Dalam Al-Qur’an menekankan supremasi dan keagungan Tuhan. Di pihak lain, diantara seluruh makhluk, manusia telah diberi potensi yang paling besar dan dipercayai memikul amanat dengan seluruh makhluk lainnya. Manusia selain merupakan makhluk biologis yang sama dengan makhluk hidup lainnya, adalah juga makhluk yang mempunyai sifat-sifat tersendiri yang berbeda dari segala makhluk dunia lainnya. Manusia tidak semata-mata tunduk pada kodratnya dan secara pasif menerima keadaannya, tetapi ia selalu secara sadar dan aktif menjadikan dirinya sesuatu. Proses perkembangan manusia sebagian ditentukan oleh kehendaknya sendiri, berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya yang sepenuhnya tergantung pada alam.
Al-Qur’an dan As Sunnah selalu meminta agar manusia mengisi hidupnya dengan bekerja untuk mempertahankan hidupnya dengan bekerja untuk memanfaatkan apa yang Allah telah ciptakan di muka bumi ini. Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi harus menggunakan kebebasan berbuat yang dimilikinya itu sebagai wakil Tuhan untuk memakmurkan bumi dan meningkatkan kualitas dirinya dengan merealisasikan segala perintah dan larangannya. Sebagai khalifah dan hamba Allah adalah bukan merupakan dua hal yang bertentangan akan tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia bisa mempunyai kemampuan dan kekuatan yang hebat dan mengagumkan. Akan tetapi manusia juga memiliki kelemahan dan kekurangan yang tidak bisa diatasinya serta mempunyai keterbatasan yang tidak bisa dilampauinya.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebebasan manusia diantaranya adalah surat Fushilat ayat 46 yang berbunyi :
Artinya :”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba- (Nya)”.[5]

Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang amal yang saleh atau yang buruk seluruhnya disandarkan kepada manusia itu sendiri. Andaikata manusia itu tidak merdeka dan tidak bebas untuk memilihnya tentunya tidaklah akan disandarkan perbuatannya itu diatas dirinya.
Surat Asy Syuro ayat 30, yang berbunyi :
Artinya : ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).[6]

Jadi keburukan-keburukan dan bencana-bencana yang diderita oleh seseorang itu hanyalah sebagai bekas atau kesan dari hasil perbuatannya sendiri dan itu pulalah yang merupakan buah dan natijah dari cara pilihan dan pemikirannya yang merdeka dan bebas.

C.     Pandangan para Pemikir Mengenai Kebebasan Manusia dan Kehendak Tuhan

Al Juba’i menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya (alistita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama diberikan pula oleh ‘Abd al-Jabbar. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan. Perbuatan ialah apa yang dihasilkan dengan daya yang bersifat baharu. Manusia adalah makhluk yang dapat memilih.[7]
Dr. Machasin menjelaskan bahwa kebebasan manusia adalah kebebasan yang dibatasi ketentuan-ketentuan Allah atas dirinya sebagai makhluk.[8] Jadi kebebasan merupakan suatu perspektif baru terbuka dihadapan manusia oleh ilmu, terbuka pula adanya rahasia-rahasia baru di belakang perspektif itu yang merangsang minat manusia untuk menyingkapnya.[9]

D.    Perbedaan Kebebasan Manusia dalam Perspektif Aliran-Aliran Teologi Islam

Mu’tazilah berpendapat kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah kemauan dan daya manusia sendiri dan tidak turut campur dalamnya kemauan dan daya Tuhan. Oleh karena itu perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan.
 Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan yang bersangkutan. Daya yang demikian kelihatannya lebih kecil dari daya yang ada dalam paham Mu’tazilah. Oleh karena itu manusia dalam paham al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam paham Mu’tazilah.
Asy’ariah berpendapat bahwa kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri, sebagai ditegaskan oleh al-Asy’ari, adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia.
 Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa kehendak berbuat adalah sama dengan kehendak yang terdapat dalam paham golongan Samarkand. Kebebasan kehendak bagi mereka hanyalah juga kebebasan untuk berbuat tidak dengan kerelaan hati Tuhan. Daya juga sama, yaitu daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan untuk mengetahui.

Pemetaan Aliran Kalam Dalam Hal Perbuatan Manusia

No
Aliran
Kehendak 
Daya
Perbuatan
1
Mu’tazilah
Manusia
Manusia
Manusia
2
Maturidiyah
Samarkand
Manusia
Manusia
Manusia
3
Asy’ariah
Tuhan
Tuhan (efektif)
Manusia (tidak efektif)
Tuhan (sebenarnya)
Manusia (kiasan)
4
Maturidiyah
Bukhara
Tuhan
Tuhan (efektif)
Manusia (tidak efektif)
Tuhan (sebenarnya)
Manusia (kiasan)

Pemetaaan diatas sebagai gambaran besar tentang hubungan antara kebebasan manusia dan kehendak Allah, sebagai manusia kita harus mempunyai hubungan baik dengan Allah(hablu minnallah) dan hubungan baik dengan sesama manusia(hablu minannas), dan semua aktivitas yang kita lakukan di dunia tetaplah nantinya akan di pertanggung jawabkan di hadapan Allah, jadi sebebas-bebasnya kehidupan manusia tatap saja pada akhirnya Allah lah yang menentukan semuanya akan bermuara kepadaNya.



BAB III
PENUTUP


A.      SIMPULAN
Kebebasan manusia adalah kebebasan yang dimiliki manusia untuk berbuat dan menentukan pilihan lewat akal dan pikiran karena dalam diri manusia ada kemampuan dasar yang dimilikinya. Semua manusia berhak menenukan jalan hidup dan nasibnya untuk masa depannya, namun kita juga harus ingat bebas bukan berarti tidak memiliki aturan, pada dasarnya kita hidup kareae Allah dan harus berpedoman pada kitab suci Al Qur’an agar kita selamat dan tetap di jalan yang benar dan di ridhoi Allah, jadi manusia memiliki kebebesan, namun tidaklah mutlak karena masih ada Allah Swt yang derajatnya lebih tinggi dari manusia, status manusia adalah hamba Allah.


B.      SARAN

1. Sebenarnya manusia adalah bebas untuk berbuat dan memilih suatu perbuatannya, maka dengan diberi akal dan wahyu dari Allah hendaknya bisa melihat suatu perbuatan yang baik. Dan hendaklah dengan dua anugerah manusia bisa menjauhi segala larangan-Nya dan menjalankan segala perintah-Nya.
2. Saran bagi umat Islam, hendaklah dengan adanya perbedaan pendapat tentang kebebasan manusia janganlah membuat perpecahan. Karena perbuatan pendapat adalah rahmat. Namun pendapat mana di antara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik, tidak dapat dinilai sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan di akherat nanti.
Daftar Pustaka

Dister, Nico Syukur OFM. 1988. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta : Kanisius.
Suseno, Franz Magnis SJ. 1993. Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Poerwadarminta W.J. S. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Departemen Agama Republik Indonesia. 1889.  Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an
Nasution, Harun.2002. Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa dan perbandingan. Jakarta :Press.
Machasin. 1996. Menyelami Kebebasan Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.








[1] Dr. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta, 1988, hlm. 5
[2] Dr. Franz Magnis-Suseno SJ., Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. xvii
[3] Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op Cit., hlm. 6
[4] W.J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hlm. 114
[5] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1989, hlm. 780
[6] Departemen Agama Republik Indonesia op. cit., hlm. 788
[7] Prof. Dr. Harun Nasution, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa dan perbandingan. UI Press, Jakarta, 2002, hlm. 103
[8] Dr. Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 99
[9] Dr. Machasin, op. cit., hlm. 121