Sabtu, 19 November 2016

Kebebasan Manusia dan Kehendak Tuhan

KEBEBASAN MANUSIA DAN KEHENDAK TUHAN
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tauhid
Dosen Pengampu : Hasyim Muhammad, M.Ag



Di susun oleh:
Putri Meindri Permatasari    (133611006)
Qonita Alfi Navila                  (133611032)
Restianingsih                         (133611028)
Utlatun Nisa’                         (133611022)
Wahyu Bunga Sari                 (133611024)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
 2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Keinginan  manusia  untuk  hidup  dengan  bebas merdeka merupakan salah satu keinginan insani yang amat mendasar.[1] Karena adanya naluri manusia yang tidak ingin terikat oleh aturan-aturan yang menjadikan belenggu karena manusia memiliki potensi yang lebih tinggi dari pada potensi hewan. Dan sebagai hamba Allah seharusnya, manusia harus berusaha keras untuk mempertahankan hidup dan merubah nasibnya.
Setelah berusaha untuk merubah hidupnya, manusia akan menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT yang menghendaki semuanya. Titik tolak untuk mempersoalkan kebebasan manusia dan jawaban-jawaban yang diberikan terhadap persoalan itu bukan saja sering kali tidak sama, bahkan tidak jarang saling bertentangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pemikiran tentang kebebasan selalu mengandung  kontroversi.[2] Perselisihan pendapat itu dapat dimengerti bila kita menyadari bahwa kebebasan manusia bukanlah kebebasan mutlak atau “murni” melainkan kebebasan yang  relatif, karena dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia sebagai kebebasan yang relatif atau “bersituasi”, kebebasan manusia selalu tercampur dengan ketidakbebasan.[3] Akan tetapi sebagai situasi dan kondisi manusia bukanlah satu-satunya faktor yang menghalangi atau membatasi
Dalam hal perbuatan, perbuatannya tidak terikat pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa kebebasan dalam Islam tidak bersifat absolut, dalam Islam yang mempunyai keabsolutan dan ketidakterbatasan hanyalah Allah sedangkan yang lain mempunyai terbatas. Manusia sebagai makhluk individu dan kolektif selalu terdorong oleh kecenderungan yang tiada habisnya untuk merealisasikan diri.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Apa pengertian kebebasan?
2.    Bagaimana kebebasan manusia dalam islam?
3.    Bagaimana pandangan para pemikir mengenai kebebasan manusia dan kehendak Tuhan?
4.    Bagaimana perbedaan kebebasan manusia dalam perspektif alaran-aliran teologi islam?
BAB II
KEBABASAN MANUSIA dan KEHENDAK TUHAN



A.    Pengertian Kebebasan

Kebebasan menurut bahasa berasal dari kata “bebas” yang mempunyai beberapa arti :
1.    Lepas sama sekali (tidak terlarang, terganggu, dan sebagainya sehingga boleh bergerak, bercakap, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa). Misalnya tiap-tiap anggota untuk melahirkan pendapatnya.
2.    Lepas dari (kewajiban, tuntutan, ketakutan, dan sebagainya) tidak dikenakan (pajak, hukuman, dan sebagainya) tidak terikat atau terbatas misalnya perasaan takut dan khawatir dari kewajiban membayar ganti rugi.
3.    Merdeka (tidak diperintah atau sangat dipengaruhi negara lain)[4]

Para filosof memberikan pengertian bahwa kebebasan adalah kemampuan untuk memilih dengan merdeka. Setiap hari pasti kita membuat keputusan untuk memilih dan melakukan pilihannya secara bebas, namun bertangung jawab. Bagi filosof, kebebasan tidak berarti kebebasan politik, ekonomi, atau fisik, akan tetapi berarti : kemampuan untuk memilih secara merdeka. Misalnya kita membuat keputusan, baik itu memesan sesuatu di restoran, memakai pakaian dan melihat program TV yang diinginkan, atau keputusan-keputusan yang mempunyai akibat-akibat yang jauh.
Kebebasan adalah tanda martabat manusia sebagai makhluk yang tidak hanya alamiah dan terikat pada kekuatan-kekuatan alam melainkan karena akal budinya mengatasi keterbatasan alam. Kebebasan juga ditafsirkan dengan bentuk ungkapan seperti “saya bebas karena saya berbuat sesuai dengan apa yang saya inginkan” atau “saya bebas karena dapat memilih apa yang ingin saya perbuat”.




B.     Kebebasan Manusia dalam Islam

Dalam Al-Qur’an menekankan supremasi dan keagungan Tuhan. Di pihak lain, diantara seluruh makhluk, manusia telah diberi potensi yang paling besar dan dipercayai memikul amanat dengan seluruh makhluk lainnya. Manusia selain merupakan makhluk biologis yang sama dengan makhluk hidup lainnya, adalah juga makhluk yang mempunyai sifat-sifat tersendiri yang berbeda dari segala makhluk dunia lainnya. Manusia tidak semata-mata tunduk pada kodratnya dan secara pasif menerima keadaannya, tetapi ia selalu secara sadar dan aktif menjadikan dirinya sesuatu. Proses perkembangan manusia sebagian ditentukan oleh kehendaknya sendiri, berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya yang sepenuhnya tergantung pada alam.
Al-Qur’an dan As Sunnah selalu meminta agar manusia mengisi hidupnya dengan bekerja untuk mempertahankan hidupnya dengan bekerja untuk memanfaatkan apa yang Allah telah ciptakan di muka bumi ini. Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi harus menggunakan kebebasan berbuat yang dimilikinya itu sebagai wakil Tuhan untuk memakmurkan bumi dan meningkatkan kualitas dirinya dengan merealisasikan segala perintah dan larangannya. Sebagai khalifah dan hamba Allah adalah bukan merupakan dua hal yang bertentangan akan tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia bisa mempunyai kemampuan dan kekuatan yang hebat dan mengagumkan. Akan tetapi manusia juga memiliki kelemahan dan kekurangan yang tidak bisa diatasinya serta mempunyai keterbatasan yang tidak bisa dilampauinya.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebebasan manusia diantaranya adalah surat Fushilat ayat 46 yang berbunyi :
Artinya :”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba- (Nya)”.[5]

Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang amal yang saleh atau yang buruk seluruhnya disandarkan kepada manusia itu sendiri. Andaikata manusia itu tidak merdeka dan tidak bebas untuk memilihnya tentunya tidaklah akan disandarkan perbuatannya itu diatas dirinya.
Surat Asy Syuro ayat 30, yang berbunyi :
Artinya : ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).[6]

Jadi keburukan-keburukan dan bencana-bencana yang diderita oleh seseorang itu hanyalah sebagai bekas atau kesan dari hasil perbuatannya sendiri dan itu pulalah yang merupakan buah dan natijah dari cara pilihan dan pemikirannya yang merdeka dan bebas.

C.     Pandangan para Pemikir Mengenai Kebebasan Manusia dan Kehendak Tuhan

Al Juba’i menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya (alistita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama diberikan pula oleh ‘Abd al-Jabbar. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan. Perbuatan ialah apa yang dihasilkan dengan daya yang bersifat baharu. Manusia adalah makhluk yang dapat memilih.[7]
Dr. Machasin menjelaskan bahwa kebebasan manusia adalah kebebasan yang dibatasi ketentuan-ketentuan Allah atas dirinya sebagai makhluk.[8] Jadi kebebasan merupakan suatu perspektif baru terbuka dihadapan manusia oleh ilmu, terbuka pula adanya rahasia-rahasia baru di belakang perspektif itu yang merangsang minat manusia untuk menyingkapnya.[9]

D.    Perbedaan Kebebasan Manusia dalam Perspektif Aliran-Aliran Teologi Islam

Mu’tazilah berpendapat kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah kemauan dan daya manusia sendiri dan tidak turut campur dalamnya kemauan dan daya Tuhan. Oleh karena itu perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan.
 Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan yang bersangkutan. Daya yang demikian kelihatannya lebih kecil dari daya yang ada dalam paham Mu’tazilah. Oleh karena itu manusia dalam paham al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam paham Mu’tazilah.
Asy’ariah berpendapat bahwa kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri, sebagai ditegaskan oleh al-Asy’ari, adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia.
 Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa kehendak berbuat adalah sama dengan kehendak yang terdapat dalam paham golongan Samarkand. Kebebasan kehendak bagi mereka hanyalah juga kebebasan untuk berbuat tidak dengan kerelaan hati Tuhan. Daya juga sama, yaitu daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan untuk mengetahui.

Pemetaan Aliran Kalam Dalam Hal Perbuatan Manusia

No
Aliran
Kehendak 
Daya
Perbuatan
1
Mu’tazilah
Manusia
Manusia
Manusia
2
Maturidiyah
Samarkand
Manusia
Manusia
Manusia
3
Asy’ariah
Tuhan
Tuhan (efektif)
Manusia (tidak efektif)
Tuhan (sebenarnya)
Manusia (kiasan)
4
Maturidiyah
Bukhara
Tuhan
Tuhan (efektif)
Manusia (tidak efektif)
Tuhan (sebenarnya)
Manusia (kiasan)

Pemetaaan diatas sebagai gambaran besar tentang hubungan antara kebebasan manusia dan kehendak Allah, sebagai manusia kita harus mempunyai hubungan baik dengan Allah(hablu minnallah) dan hubungan baik dengan sesama manusia(hablu minannas), dan semua aktivitas yang kita lakukan di dunia tetaplah nantinya akan di pertanggung jawabkan di hadapan Allah, jadi sebebas-bebasnya kehidupan manusia tatap saja pada akhirnya Allah lah yang menentukan semuanya akan bermuara kepadaNya.



BAB III
PENUTUP


A.      SIMPULAN
Kebebasan manusia adalah kebebasan yang dimiliki manusia untuk berbuat dan menentukan pilihan lewat akal dan pikiran karena dalam diri manusia ada kemampuan dasar yang dimilikinya. Semua manusia berhak menenukan jalan hidup dan nasibnya untuk masa depannya, namun kita juga harus ingat bebas bukan berarti tidak memiliki aturan, pada dasarnya kita hidup kareae Allah dan harus berpedoman pada kitab suci Al Qur’an agar kita selamat dan tetap di jalan yang benar dan di ridhoi Allah, jadi manusia memiliki kebebesan, namun tidaklah mutlak karena masih ada Allah Swt yang derajatnya lebih tinggi dari manusia, status manusia adalah hamba Allah.


B.      SARAN

1. Sebenarnya manusia adalah bebas untuk berbuat dan memilih suatu perbuatannya, maka dengan diberi akal dan wahyu dari Allah hendaknya bisa melihat suatu perbuatan yang baik. Dan hendaklah dengan dua anugerah manusia bisa menjauhi segala larangan-Nya dan menjalankan segala perintah-Nya.
2. Saran bagi umat Islam, hendaklah dengan adanya perbedaan pendapat tentang kebebasan manusia janganlah membuat perpecahan. Karena perbuatan pendapat adalah rahmat. Namun pendapat mana di antara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik, tidak dapat dinilai sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan di akherat nanti.
Daftar Pustaka

Dister, Nico Syukur OFM. 1988. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta : Kanisius.
Suseno, Franz Magnis SJ. 1993. Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Poerwadarminta W.J. S. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Departemen Agama Republik Indonesia. 1889.  Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an
Nasution, Harun.2002. Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa dan perbandingan. Jakarta :Press.
Machasin. 1996. Menyelami Kebebasan Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.








[1] Dr. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta, 1988, hlm. 5
[2] Dr. Franz Magnis-Suseno SJ., Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. xvii
[3] Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op Cit., hlm. 6
[4] W.J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hlm. 114
[5] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1989, hlm. 780
[6] Departemen Agama Republik Indonesia op. cit., hlm. 788
[7] Prof. Dr. Harun Nasution, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa dan perbandingan. UI Press, Jakarta, 2002, hlm. 103
[8] Dr. Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 99
[9] Dr. Machasin, op. cit., hlm. 121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar