KEBEBASAN
MANUSIA DAN KEHENDAK TUHAN
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tauhid
Dosen Pengampu : Hasyim Muhammad,
M.Ag
Di susun oleh:
Putri Meindri Permatasari
(133611006)
Qonita Alfi Navila (133611032)
Restianingsih (133611028)
Utlatun Nisa’ (133611022)
Wahyu Bunga Sari (133611024)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keinginan manusia untuk
hidup dengan bebas merdeka merupakan salah satu keinginan
insani yang amat mendasar.[1]
Karena adanya naluri manusia yang tidak ingin terikat oleh aturan-aturan yang
menjadikan belenggu karena manusia memiliki potensi yang lebih tinggi dari pada
potensi hewan. Dan sebagai hamba Allah seharusnya, manusia harus berusaha keras
untuk mempertahankan hidup dan merubah nasibnya.
Setelah
berusaha untuk merubah hidupnya, manusia akan menyerahkan hasilnya kepada Allah
SWT yang menghendaki semuanya. Titik tolak untuk mempersoalkan kebebasan
manusia dan jawaban-jawaban yang diberikan terhadap persoalan itu bukan saja
sering kali tidak sama, bahkan tidak jarang saling bertentangan. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika pemikiran tentang kebebasan selalu mengandung kontroversi.[2]
Perselisihan pendapat itu dapat dimengerti bila kita menyadari bahwa kebebasan
manusia bukanlah kebebasan mutlak atau “murni” melainkan kebebasan yang relatif, karena dibatasi oleh situasi dan
kondisi manusia sebagai kebebasan yang relatif atau “bersituasi”, kebebasan
manusia selalu tercampur dengan ketidakbebasan.[3]
Akan tetapi sebagai situasi dan kondisi manusia bukanlah satu-satunya faktor
yang menghalangi atau membatasi
Dalam
hal perbuatan, perbuatannya tidak terikat pada kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa kebebasan dalam Islam tidak
bersifat absolut, dalam Islam yang mempunyai keabsolutan dan ketidakterbatasan
hanyalah Allah sedangkan yang lain mempunyai terbatas. Manusia sebagai makhluk
individu dan kolektif selalu terdorong oleh kecenderungan yang tiada habisnya
untuk merealisasikan diri.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa
pengertian kebebasan?
2.
Bagaimana
kebebasan manusia dalam islam?
3.
Bagaimana
pandangan para pemikir mengenai kebebasan manusia dan kehendak Tuhan?
4.
Bagaimana
perbedaan kebebasan manusia dalam perspektif alaran-aliran teologi islam?
BAB II
KEBABASAN MANUSIA dan KEHENDAK TUHAN
A.
Pengertian
Kebebasan
Kebebasan
menurut bahasa berasal dari kata “bebas” yang mempunyai beberapa arti :
1.
Lepas sama
sekali (tidak terlarang, terganggu, dan sebagainya sehingga boleh bergerak,
bercakap, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa). Misalnya tiap-tiap anggota
untuk melahirkan pendapatnya.
2.
Lepas dari
(kewajiban, tuntutan, ketakutan, dan sebagainya) tidak dikenakan (pajak,
hukuman, dan sebagainya) tidak terikat atau terbatas misalnya perasaan takut
dan khawatir dari kewajiban membayar ganti rugi.
3.
Merdeka
(tidak diperintah atau sangat dipengaruhi negara lain)[4]
Para
filosof memberikan pengertian bahwa kebebasan adalah kemampuan untuk memilih
dengan merdeka. Setiap hari pasti kita membuat keputusan untuk memilih dan
melakukan pilihannya secara bebas, namun bertangung jawab. Bagi filosof,
kebebasan tidak berarti kebebasan politik, ekonomi, atau fisik, akan tetapi
berarti : kemampuan untuk memilih secara merdeka. Misalnya kita membuat
keputusan, baik itu memesan sesuatu di restoran, memakai pakaian dan melihat
program TV yang diinginkan, atau keputusan-keputusan yang mempunyai
akibat-akibat yang jauh.
Kebebasan
adalah tanda martabat manusia sebagai makhluk yang tidak hanya alamiah dan
terikat pada kekuatan-kekuatan alam melainkan karena akal budinya mengatasi
keterbatasan alam. Kebebasan juga ditafsirkan dengan bentuk ungkapan seperti
“saya bebas karena saya berbuat sesuai dengan apa yang saya inginkan” atau
“saya bebas karena dapat memilih apa yang ingin saya perbuat”.
B.
Kebebasan
Manusia dalam Islam
Dalam
Al-Qur’an menekankan supremasi dan keagungan Tuhan. Di pihak lain, diantara
seluruh makhluk, manusia telah diberi potensi yang paling besar dan dipercayai
memikul amanat dengan seluruh makhluk lainnya. Manusia selain merupakan makhluk
biologis yang sama dengan makhluk hidup lainnya, adalah juga makhluk yang
mempunyai sifat-sifat tersendiri yang berbeda dari segala makhluk dunia
lainnya. Manusia tidak semata-mata tunduk pada kodratnya dan secara pasif
menerima keadaannya, tetapi ia selalu secara sadar dan aktif menjadikan dirinya
sesuatu. Proses perkembangan manusia sebagian ditentukan oleh kehendaknya sendiri,
berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya yang sepenuhnya tergantung pada alam.
Al-Qur’an
dan As Sunnah selalu meminta agar manusia mengisi hidupnya dengan bekerja untuk
mempertahankan hidupnya dengan bekerja untuk memanfaatkan apa yang Allah telah
ciptakan di muka bumi ini. Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi harus
menggunakan kebebasan berbuat yang dimilikinya itu sebagai wakil Tuhan untuk
memakmurkan bumi dan meningkatkan kualitas dirinya dengan merealisasikan segala
perintah dan larangannya. Sebagai khalifah dan hamba Allah adalah bukan
merupakan dua hal yang bertentangan akan tetapi merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Manusia bisa mempunyai kemampuan dan kekuatan yang
hebat dan mengagumkan. Akan tetapi manusia juga memiliki kelemahan dan
kekurangan yang tidak bisa diatasinya serta mempunyai keterbatasan yang tidak
bisa dilampauinya.
Dalam
Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebebasan manusia
diantaranya adalah surat Fushilat ayat 46 yang berbunyi :

Artinya
:”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk
dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas
dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya
hamba-hamba- (Nya)”.[5]
Dalam
ayat tersebut dijelaskan tentang amal yang saleh atau yang buruk seluruhnya
disandarkan kepada manusia itu sendiri. Andaikata manusia itu tidak merdeka dan
tidak bebas untuk memilihnya tentunya tidaklah akan disandarkan perbuatannya
itu diatas dirinya.
Surat
Asy Syuro ayat 30, yang berbunyi :

Artinya
: ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).[6]
Jadi
keburukan-keburukan dan bencana-bencana yang diderita oleh seseorang itu
hanyalah sebagai bekas atau kesan dari hasil perbuatannya sendiri dan itu
pulalah yang merupakan buah dan natijah dari cara pilihan dan pemikirannya yang
merdeka dan bebas.
C.
Pandangan
para Pemikir Mengenai Kebebasan Manusia dan Kehendak Tuhan
Al Juba’i menerangkan bahwa manusialah
yang menciptakan perbuatan perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh
dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya
(alistita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia
sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama diberikan pula oleh ‘Abd
al-Jabbar. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia,
tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan. Perbuatan ialah apa yang
dihasilkan dengan daya yang bersifat baharu. Manusia adalah makhluk yang dapat
memilih.[7]
Dr. Machasin menjelaskan bahwa
kebebasan manusia adalah kebebasan yang dibatasi ketentuan-ketentuan Allah atas
dirinya sebagai makhluk.[8]
Jadi kebebasan merupakan suatu perspektif baru terbuka dihadapan
manusia oleh ilmu, terbuka pula adanya rahasia-rahasia baru di belakang
perspektif itu yang merangsang minat manusia untuk menyingkapnya.[9]
D.
Perbedaan
Kebebasan Manusia dalam Perspektif Aliran-Aliran Teologi Islam
Mu’tazilah
berpendapat kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah kemauan
dan daya manusia sendiri dan tidak turut campur dalamnya kemauan dan daya
Tuhan. Oleh karena itu perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia
dan bukan perbuatan Tuhan.
Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa daya
untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan
yang bersangkutan. Daya yang demikian kelihatannya lebih kecil dari daya yang
ada dalam paham Mu’tazilah. Oleh karena itu manusia dalam paham al-Maturidi
tidak sebebas manusia dalam paham Mu’tazilah.
Asy’ariah
berpendapat bahwa kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan
dan perbuatan itu sendiri, sebagai ditegaskan oleh al-Asy’ari, adalah perbuatan
Tuhan dan bukan perbuatan manusia.
Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa kehendak
berbuat adalah sama dengan kehendak yang terdapat dalam paham golongan
Samarkand. Kebebasan kehendak bagi mereka hanyalah juga kebebasan untuk berbuat
tidak dengan kerelaan hati Tuhan. Daya juga sama, yaitu daya diciptakan
bersama-sama dengan perbuatan untuk mengetahui.
Pemetaan
Aliran Kalam Dalam Hal Perbuatan Manusia
No
|
Aliran
|
Kehendak
|
Daya
|
Perbuatan
|
1
|
Mu’tazilah
|
Manusia
|
Manusia
|
Manusia
|
2
|
Maturidiyah
Samarkand
|
Manusia
|
Manusia
|
Manusia
|
3
|
Asy’ariah
|
Tuhan
|
Tuhan
(efektif)
Manusia
(tidak efektif)
|
Tuhan
(sebenarnya)
Manusia
(kiasan)
|
4
|
Maturidiyah
Bukhara
|
Tuhan
|
Tuhan
(efektif)
Manusia
(tidak efektif)
|
Tuhan
(sebenarnya)
Manusia
(kiasan)
|
Pemetaaan diatas sebagai gambaran besar
tentang hubungan antara kebebasan manusia dan kehendak Allah, sebagai manusia
kita harus mempunyai hubungan baik dengan Allah(hablu minnallah) dan hubungan
baik dengan sesama manusia(hablu minannas), dan semua aktivitas yang kita
lakukan di dunia tetaplah nantinya akan di pertanggung jawabkan di hadapan
Allah, jadi sebebas-bebasnya kehidupan manusia tatap saja pada akhirnya Allah
lah yang menentukan semuanya akan bermuara kepadaNya.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Kebebasan
manusia adalah kebebasan yang dimiliki manusia untuk berbuat dan menentukan
pilihan lewat akal dan pikiran karena dalam diri manusia ada kemampuan dasar
yang dimilikinya. Semua manusia berhak menenukan jalan hidup dan nasibnya untuk
masa depannya, namun kita juga harus ingat bebas bukan berarti tidak memiliki
aturan, pada dasarnya kita hidup kareae Allah dan harus berpedoman pada kitab
suci Al Qur’an agar kita selamat dan tetap di jalan yang benar dan di ridhoi
Allah, jadi manusia memiliki kebebesan, namun tidaklah mutlak karena masih ada
Allah Swt yang derajatnya lebih tinggi dari manusia, status manusia adalah
hamba Allah.
B. SARAN
1. Sebenarnya manusia adalah bebas untuk
berbuat dan memilih suatu perbuatannya, maka dengan diberi akal dan wahyu dari
Allah hendaknya bisa melihat suatu perbuatan yang baik. Dan hendaklah dengan
dua anugerah manusia bisa menjauhi segala larangan-Nya dan menjalankan segala
perintah-Nya.
2. Saran bagi umat Islam, hendaklah dengan
adanya perbedaan pendapat tentang kebebasan manusia janganlah membuat
perpecahan. Karena perbuatan pendapat adalah rahmat. Namun pendapat mana di
antara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik, tidak dapat dinilai
sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan di akherat
nanti.
Daftar
Pustaka
Dister, Nico Syukur OFM. 1988. Filsafat
Kebebasan. Yogyakarta : Kanisius.
Suseno, Franz Magnis SJ. 1993. Pemikiran
Soedjatmoko tentang Kebebasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Poerwadarminta W.J. S. 2003. Kamus
Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Departemen Agama Republik Indonesia.
1889. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an
Nasution, Harun.2002. Teologi Islam:
aliran-aliran, sejarah analisa dan perbandingan. Jakarta :Press.
Machasin. 1996. Menyelami Kebebasan
Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1]
Dr. Nico Syukur Dister OFM,
Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta, 1988, hlm. 5
[2]
Dr. Franz
Magnis-Suseno SJ., Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan,PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. xvii
[3]
Dr. Nico Syukur Dister OFM,
Op Cit., hlm. 6
[4]
W.J. S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
2003, hlm. 114
[5]
Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1989, hlm. 780
[6]
Departemen Agama Republik
Indonesia op. cit., hlm. 788
[7]
Prof. Dr.
Harun Nasution, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa dan
perbandingan. UI Press, Jakarta, 2002, hlm. 103
[8] Dr. Machasin, Menyelami
Kebebasan Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 99
[9]
Dr. Machasin, op. cit.,
hlm. 121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar