SEJARAH
PERADABAN ISLAM PADA MASA MU’AWIYAH IBN ABI SUFYAN
MAKALAH
Disusun
guna memenuhi tugas
Dosen Pengampu:
Drs. Mat Sholikhin Noor M.Ag
Disusun Oleh:
Wahyu Bunga Sari (133611024)
Dewi Khariroh (133611043)
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah
merupakan bagian yang tidak boleh dilupakan dalam perjalanan hidup manusia.
Sejarah tidak lain akan berguna untuk menunjukkan jalan bagi generasi penerus
dan sebagai pelajaran tentang apa-apa yang telah terjadi di masa lampau.
Sebagai umat Islam,
sejarah Islam
merupakan kajian yang tidak boleh diabaikan. Sejarah Islam
berawal dari kemunculan para nabi dan rasul ke bumi dan berlangsung hingga zaman
sekarang. Membahas sejarah Islam, berkaitan
erat dengan peradaban Islam.Peradaban
Islam
mempunyai arti sebagai hasil karya, karsa, dan
cipta manusiayang berdasarkan nilai-nilai Islam
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Muawiyah
merupakan salah satu sahabat nabi Muhammad SAW. Setelah kekhalifahan
Khulafaurrasyiddin berakhir, Muawiyah naik tahta dan menjabat sebagai khalifah.
Muawiyah merupakan seorang ahli dalam bidang Administrasi dan tegas. Lantas
bagimana pemerintahannya berlangsung dan apa saja jasa-jasanya. Oleh karena
itu, makalah ini kami buat untuk menjelaskan peradaban Islam pada masa Muawiyah
ibn Abi Sufyan (bapak pendiri Bani Umawiyah).
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Muawiyah bin Abu Sufyan?
2.
Bagimana sejarah pengangkatan Muawiyah ibn Abi Sofyan sebagai
khalifah (dinasti Umawiyah) ?
3.
Bagaimana pemerintahan pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan?
4.
Apa jasa-jasa Muawiyah bin Abu Sufyan?
II.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Muawiyah bin Abu Sufyan
Nama
lengkap Muawiyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi
Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia berasal dari bani (klan)
Umawiyah.Muawiyah adalah laki-laki yang berperawakan tinggi, berkulit putih,
tampan, dan penuh wibawa.
Umar
bin Khattab juga berkata bahwa Muawiyah suka makan makanan yang lezat dan
bergaya seperti raja. Umar berkata begitu bukan bermaksud menjelekkan Muawiyah
tapi hanya menginformasikan ciri khas Muawiyah. Bisa dimengerti mengapa
Muawiyah melakukan hal itu karena ia memang berasal dari kabilah terpandang di
masyarakat.Ayahnya Muawiyah adalah Abu Sufyan bin Harb, seorang sahabat Nabi
Muhammad. Sedangkan ibunya adalah Hindun binti Utbah, seorang sahabiyah
(sahabat wanita) nabi Muhammad.
Pendapat
yang terkenal mengatakan bahwa Muawiyah masuk Islam pada masa Penaklukkan
Makkah. Namun, Muawiyah sendiri mengatakan bahwa, "aku masuk Islam dalam
peristiwa Umrah Qadha tahun 7 H, tetapi aku menyembunyikannya dari
bapakku". Hal itu dapat dimengerti karena situasi saat itu masih mencekam.
Selain itu posisi Muawiyah cukup sulit, mengingat Abu Sufyan pada waktu itu
masih kafir, bahkan Abu Sufyan adalah pemimpin Quraisy dalam melawan Nabi
Muhammad. Muawiyah juga ikut perang Hunain dan Nabi Muhammad memberinya seratus
unta dan 40 uqiyah emas dari harta rampasan perang Hunain.[1]
Mu’awiyah bin Abu Sufyan adalah pembangun daulat bani Umayyah (661-750
M) dan menjabat khalifah pertama (606-681 M) dari daulat tersebut, dengan
memindahkan ibu kota dari Madinah Al-Munawaroh ke kota Damaskus di wilayah Suriah.
Kemudian mu’awiyah ikut dalam Perang Yarmuk dan membuka Syam dibawah
pimpinan saudaranya Yazid. Dia juga berhasil menaklukan Qaisariyah dan sebagian
pesisir wilayah Syam.
Dia meriwayatkan hadits dari Rasul SAW
sebanyak 163 hadits, beberapa sahabat dan tabi’in juga meriwayatkan
hadits darinya, antara lain; Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu
Darda’, dan lain sebagainya. Sedangkan dari kalangan tabi’in yakni; Sa’id bin
Al Musayyib, Hamid bin Abd Rahman, dan lain-lain. Ia termasuk mempunyai kecerdasan
dan kesabaran yang tinggi.
Mu’awiyah pernah dido’akan oleh Nabi
dalam hadits riwayat Tirmidzi. Do’a tersebut berbunyi ”ya Allah
jadikanlah dia orang yang memberi petunjuk jalan yang benar dan orang yang
mendapat hidayah.” Mu’awiyah juga termasuk orang yang ahli dibidang
politik, terutama ketika Khalifah Umar bin Khattab menjadi pemimpin umat Islam,
terbukti ia ditunjuk menduduki jabatan Gubernur di Syiria. Suatu ketika ia
meminta izin agar diperkenankan mengusir pasukan Romawi melalui laut, tetapi khalifah
Umar melarangnya.Muawiyah wafat
pada tahun 60 H dalam bulan April 680 M di Damaskus karena sakit.[2]
B.
Sejarah pengangkatan Muawiyah ibn Abi Sofyan sebagai khalifah (Dinasti
Umawiyah)
Muawiyah yang cerdik itu memanfaatkan
pembunuhan khalifah Usman untuk menjatuhkan khalifah Ali ibn Abi Thalib, karena
ia menentang khalifah Ali memerintahkan padanya untuk meletakkan jabatannya
sebagai gubernur di Siria. Dia membangkitkan kemarahan umat islam dengan
memperlihatkan barang-barang peninggalan khalifah Usman ibn Affan beserta
potongan jari bibi Naila, istri khalifah Usman yang terpotong ketika berusaha
menyelamatkan suaminya. Muawiyah menuntut khalifah Ali menenmukan dan menghukum
pembunuh khalifah Usman; kalu tidak, dia harus menerima sebagai pembunuh
khalifah Usman.khalifah Ali bergerak dari Kufa dengan 50.000 pasukan untuk
menumpas pemberontakan Muawiyah. Muawiyah pun telah membawa pasukan yang tidak
kalah banyak dari pasukan khalifah Ali. Kedua pasukan itu berhadapan di medan
Shiffin. Sebenarnya khalifah Ali tidak menginginkan adanya pertumpahan darah di
antara umat islam dan mau menyelesaikan masalah itu dengan damai. Tapi,
Muawiyah menuntut penghukuman segera bagi pembunuh khalifah Usman. Tidaklah
mungkin pada waktu yang bersamaan khalifah Ali dapat mengatasi tuntutan
Muawiyah. Muawiyah pun tidak menyetujui perdamaian bentuk apapun. Karena usaha
perdamaian gagal, maka pertempuran pun meletus. Pada perang Shiffin hari kedua,
karena keberanian dan kepemimpinan khlifah Ali dapat membersihkan wilayah
Shiffin tersebut. Sebanyak 7000 orang islam gugur dalam pertempuran. Karena
menghadapi kekalahan yang luar biasa, Muawiyah yang cerdik atas saran Amr ibn
As, sekutunya yang cerdik, mengikatkan Al-Qur’an pada ujung tombak tentaranya
dan dengan demikian menuntut agar perselisihan dapat diselesaikan menurut
Al-Qur’an. Sebenarnya hal itu merupakan tipu daya yang lihai dari Muawiyah
untuk menghindari bencana dan menipu khalifah Ali. Khalifah Ali sebenarnya
sudah mengetahui tipu daya Muawiyah tersebut dan berniat melanjutkan
pertempuran. Namun pasukan khalifah Ali menuntut untuk menghentikan
pertempuran. Oleh karena itu, peperangan pun berhenti dan Muawiyah terhindar
dari kehancuran.
Setelah pertempuran berhenti,
diputuskanlah bahwa perselisihan itu harus diselesaikan oleh dua orang wasit
atau utusan. Dari pihak Muawiyah mengutus Amr ibn Ash yang terkenal licik dan
cerdik, sedangkan dari pihak khalifah Ali mengutus Abu Musa Al-Asy’ary. Sulit
untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi dalam perwasitan itu. dikatakan
bahwa Amr menerangkan agar Muawiyah dan Khalifah Ali sama-sama meletakkan
jabatannya. Saat Abu Musa menyatakan peletakan jabatan khalifah Ali, Amar
menerimanya dan menyatakan pengankatan Muawiyah untuk mengisi jabtan khalifah
yang kosong. Cara perwasitan ini membuat marah pihak Ali dan akhirnya
perwasitan itu hanyalah sebuah lelucon. Apapun yang benar dalam perwasitan itu,
pastilah pihak Ali keluar sebagai pihak yang kalah dan Muawiyah adalah pihak
yang menang. Sebagai akibat dari perwasita ini, pemilikan Muawiyah atas Mesir
dan Siria juga dikukuhkan.[3]
Khalifah
Ali meninggal karena dibunuh oleh Ibn Muljam. Karena Hasan (putra khalifah Ali
ibn Abi Thalib) memiliki tabi’at yang buruk, karena itu, Hasan mengajukan
beberapa syarat jika Muawiyah ingin menggantikan jabatan ayahnya yaitu Khalifah
Ali. Dan tanpa pikir panjang, Muawiyah menyetujui syarat-syarat yang Hasan
ajukan dan akhirnya Muawiyah dibai’at sebagi khalifah. Syarat-syarat tersebut
diantaranya:
1.
Agar Muawiyah tiada menaruh dendamterhadap seorang pun penduduk Irak.
2.
Menjamin keamanan dan mema’afkan kesalahan-kesalahan mereka.
3.
Agar pajak tanah Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap-tiap
tahun
4.
Agar muawiyah membayar kepada saudaranya yaitu Husein, 2 juta dirham.
5.
Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada
Bani Abdi Syams.
Sesudah peristiwa penerimaan syarat
oleh Muawiyah, Muawiyah masuk ke kota Kufah pada bulan Rabiul Awal tahu 41 H di
mana ia bertemu dengan Hasan, lalu orang banyak bersama Hasan dan Husein
membai’ah Muawiyah. Itulah sebabnya tahun itu disebut sebagai “tahun persatuan”
atau “amul jamaah”. Karena rakyat telah bersatu di bawah pimpinan seorang
khalifah.[4]
C.
Pemerintahan pada masa Muawiyah
Khalifah
Muawiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan
baik.
Pemerintahannya didesentralisasikan dan kacau serta munculnya anarkisme dan
ketidakdisiplinan kaum nomad yang tidak lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral menyababkan
ketidakstabilan dimana-mana dan kehilangan kesatuan. Ikatan teokrasi yang telah
dihancurkan oleh terbunuhnya khalifah Usman, oleh perang saudara sebagai
akibatnya dan oleh pemindahan ibu kota dari madinah.
Muawiyah melakukan perubahan-perubahan menonjol dan besar pada masa
pemerintahannya. Dasar yang sebenarnya dari pemerintahannya adalah angkatan
daratnya yang kuat dan efisien. Dia mengandalkan pasukan orang-orang Siria yang
setia kepadanya, dan muawiyah berusaha mendirikan pemerintahan yang stabil
menurut garis-garis pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran
sistem yang untuk pertama kali digunakannya itu.
Muawiyah merupakan orang pertama di dalam islam yang mendirikan
suatu departemen pencatatan (diwanul kahatam) setiap peraturan yang dikeluarkan
khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus di
segel dan dikirimkan ke alamat yang dituju. Pelayanan pos (diwanul barid)
kabarnya telah diperkenalkan oleh Muawiyah. Barid (kepala pos) memberi tahu
kepada pemerintah pusat tentang apa yang terjadi di dalam pemerintahan
provinsi. Dengan cara ini Muawiyah melaksanakan pemerintahan pusat. Muawiyah
membentuk sekretariat-sekretariat yang medianya menggunakan bahasa arab, dan
sekretariat provinsi yang menggunakan bahasa Yunani dan Persia. Sebagai seorang
administrator yang berpandangan jauh, Muawiyah memisahkan urusan keuangan dengan urusan pemerintahan.
Dia mengangkat seorang gubernur di setiap provinsi untuk melaksanakan
pemerintahan. Akan tetapi, untuk memungut pajak, di tiap-tiap provinsi dia
mengangkat seorang pejabat khusus dengan gelar sahibul-kharaj. Pejabat ini
tidak terikat dengan gubernur, dan dia diangkat oleh khalifah. Dalam masalah
keuangan,gubernur harus menggantungkan dirinya pada sahibul-kharaj dan hal ini
membatasi kekuasaan gubernur. Demikianlah Muawiyah mengembangkan suatu keadaan
yang teratur dan terhindar dari kekacauan. [5]
Pada pemerintahan Muawiyah, terjadi pemberontakan oleh kaum
Khawarij. Kaum Khawarij adalah kaum yang meminta dengan keras agar Ali
menghentikan peperangan pada perang Shiffin agar dilakukan proses hukum melalui
Al-Qur’an. Namun, mereka kemudian menolak hasil perundingan antara pihak
Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib. Setelah itu mereka melakukan pemberontakan di
harura’ dan melakukan pengrusakan di muka bumi. Mereka dibinasakan oleh Ali bin
Abi Thalib melalui perang Nahrawand, namun banyak yang tersisa dari pasukannya.
Salah seorang mereka berhasil membunuh Ali.
Pada masa
pemerintahan Muawiyah melakukan beberapa kali pemberontkan di Kufah dan
Bashrah, hingga kembali mereka dihancurkan. Gubernur Bashrah saat itu adalah
Ziyad ibnu Abihi dan anaknya Abdullah Bin Ziayad. Mereka adalah dua orang yang
sangat keras terhadap mereka.
Orang-orang
khawarij adalah orang-orang kampung yang keras kepala, kaku, dan menginginkan
manusia hanya ada dalam dua kubu: kafir dan mukmin. Maka, barang siapa yang
siapa yang sesuai pandangan-pandangan mereka, maka mereka mengenggap oarang itu
adalah seorang mukmin; dan barang siapa yang tidak sesuai dengan pandangan
mereka, seseorang itu akan mereka anggap sebagai orang kafir. Mereka menuduh
Utsman, Ali dan Mu’awiyah sebagai orang kafir.
Mereka selalu memerangi siapa saja yang tidak berada dalam jama’ah
mereka dan menghalalkan darah kaum muslimin. Mereka adalah manusia-manusia yang
sering menimbulkan bencana. Jika ditilik secara umum, kemenangan yang berhasil
mereka capai adalah pada masa Bani Umayyah.[6]
Pembaiatan
Yazid Bin Mu’awiyah
Sebelum masa pemerintahannnya berakhir, Mu’awiyah membaiat anaknya,
Yazid Bin Mu’awiyah. Dengan demikian, dia adalah pemimpin kaum muslimin pertama
yang melakukan itu. Diantara orang yang paling tidak setuju dengan apa yang
dilakukan oleh Mu’awiyah adalah Husein Bin Ali, Abdur Rahman bin Abu Bakar,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah ibnuz Zubair.
Muawiyah harus
menghadapi persoalan yang sangat pelik dan penentangan sangat keras akibat
keputusannya ini. Hingga akhirnya dia mampu menguasai persoalannya. Tentu saja
apa yang dilakukan Muawiyah ini tidak boleh dilakukan dari sisi syari’ah.
Sebab, khilafah ini terbuka untuk kaum muslimin dan tidak boleh dilakukan
dengan cara mewariskan. Kekhilafan ini bisa dipegang oleh siapa saja yang
memiliki kemampuan.
Pada masa
pemerintahannya, Muawiyah selalu berusaha untuk menjadikan kaum muslimin berada
dalam satu kata. Pada zamannya tidak ada seorang pun yang melakukan
pemberontakan kecuali sebagian kecil kaum Khawarij, yang pengaruhnya sangatlah
lemah. Pemerintahan Muawiyah sangat panjang, yaitu selama 20 tahun. Namun,
kekuasannya diwarnai dengan situasi yang kondusif dan baik.
Pada masa
pemerintahannya, dianggap sebagai salah satu masa pemerintahan paling baik
dalam perjalanan kekuasaan Islam. Keamanan internal terjamin, dan unsur-unsur
yang akan melakukan perlawanan terhadapnya selalu mengalami kekalahan. Dia
berhasil melakukan penaklukkan-penaklukkan di semua medan dan diwarnai dengan
kemenangan-kemenanga. Yang menjadi kritikan para sahabat terhadapnya dan
anak-anak mereka adalah kerena Muawiyah mengambil baiat untuk anaknya. Dia
meninggal pada tahun 60 H / 679 M. Dia adalah orang pertama yang membangun
kantor-kantor pos di dalam islam dan membuat stempel.[7]
Penaklukan di
masa pemerintahan Muawiyah ibn Abi Sofyan
a.
Wilayah Barat
Wilayah Romawi
(Turki). Ketika itu selalu dilakukan pengintaian dan ekspedisi di sana.maksud
dan tujuannya adalah menaklukkan Konstantinopel. Kota itu dikepung pada tahun
50 H/ 670 M kemudian pada tahu 53-61 H / 672-680 M, namun tidak berhasil
ditaklukkan.
Muawiyah
membentuk pasukan laut yang besar yang siaga di Laut Tengah dengan kekuatan
1700 kapal. Dengan kekuatan itu ia berhasil memetik berbagai kemenangan. Dia
berhasil menaklukkan pulau Jarba di Tunisia pada tahun 49 H / 669 M, kepulauan
Rhodesia pada tahun 53 M/ 673 M, kepulauan Kreta pada tahun 55 H/ 624 M,
kepulauan Ijih di Konstantinopel pada tahun 57 M / 680 M.
Di Afrika.
Benzarat berhasil ditaklukkan pada tahun 41 H / 661 M, Qamuniyah (dekat
Qayrawan) di taklukkan pada tahun 45 H / 665 M, Susat juga ditaklukkan pada
tahun yang sama. Uqbah bin Nafi’ berhasil menaklukkan Sirt, Mogadishu,
Tharablis dan menaklukkan Wadan kembali. Kota Qayrawan dibangun pada tahun 50 M
/ 670 M. Kur sebuah wilayah di Sudan juga berhasil ditaklukkan. Akhirnya,
penaklukkan ini sampai di Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbah bin Nafi’ adalah
komandan paling terkenal di kawasan ini.
b.
Kawasan Timur (negeri Asia Tengah dan Sindh).
Negeri-negeri Asia Tengah meliputi kawasan
yang berada di antara Sayhun dan Jayhun. Di antara kerajaan terpenting adalah
kerajaan Thakharistan dengan ibu kotanya Balkh, Shafaniyan dengan ibu kota
Syawman, Saghat dengan ibu kota Samarkhand dan Bukhari, Farghanah dengan ibu
kota Jahandah, Khawarizm, dengan ibu kora Jurjaniyah, Asyrusanah dengan ibu
kota Banjakat, Syasi dengan ibu kota Bankats.
Mayoritas
penduduk di kawasan itu adalah kaum
Paganis. Pasukan islam menyerang menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41 H
/ 661 M. Pada tahun 43 H / 663 M mereka mampu menaklukkan Sajistan dan
menaklukkan sebagian wilayah Takharistan pada tahun 45 H / 665 M. Mereka sampai
pada wilayah Quhistan. Pada tahun 44
H / 664 M Abdullah bin Ziyad tiba di pegunungan Bukhari.
Pada tahun 44 H
/ 664 M kaum muslimin menyerang Sindh dan India. Penduduk di tempat itu selalu
melakukan pemberontakan sehinggan membuat kawasan itu tidak selamanya stabil
kecuali di masa pemerintahan Walid bi Abdul malik.[8]
Di zaman
Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai
daerah Khurasan samapai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan
lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizamtium, Konstantinopel. Ekspansi
ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abdul
Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil
menundukan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya
bahakan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, sind dan daerah Punjab
sampai ke Maltan.[9]
D.
Jasa-jasa Muawiyah bin Abu sufyan
Muawiyah
merupakan orang pertama didalam Islam yang mendirikan suatu departemen
pencatatan (diwanul khahatam). Muawiyah juga mendirikan pelayanan pos (diwanul
barid). Pada masa pemerintahannya, keadaan politiknya stabil, dan hanya ada
pemberontakan-pemberontakan tak berarti dan langsung bisa teratasi.
Administrasi
negara yang dipimpin Muawiyah pun tertata rapi, dengan diangkatnya pejabat
khusus pajak (sahibul-kharaj) di tiap provinsi yang kewenangannya tidak
dibatasi oleh gubernur.[10]
Penaklukkan
wilyah-wilayah di daerah timur (Thakharistan, Balkh, Samarkhand, Bukhara,
Farganah, Khawarizm,Asyrussanah, dan Syasi) dan barat (yang meliputi
penaklukkan Konstantinopel, kepulauan Kreta, kepulauan Ijih, Benzarat,
Qamuniyah, Sirt, Mogadishu, Tharablis, Wadan dan Aljazair.)[11]
IV. KESIMPULAN
Muawiyah Nama lengkap Muawiyah adalah
Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin
Qushay bin Kilab. Ia berasal dari bani (klan) Umawiyah.Muawiyah adalah
laki-laki yang berperawakan tinggi, berkulit putih, tampan, dan penuh wibawa.
Muawiyah menjadi Khlifah karena meletusnya perang Shiffin melawan
khalifa Ali Ibn Thalib. Ia dibai’at oleh banyak orang sebagi khalifah pada
tahun persatuan atau amul Jamaah.
Pada masa pemerintahannya, Muawiyah melakukan perubahan-perubahan
menonjol dan besar pada masa pemerintahannya. Dasar yang sebenarnya dari
pemerintahannya adalah angkatan daratnya yang kuat dan efisien. Penaklukkan di
masa pemerintahannya meliputi wilyah-wilayah di daerah timur (Thakharistan,
Balkh, Samarkhand, Bukhara, Farganah, Khawarizm, Asyrussanah, dan Syasi) dan
barat (yang meliputi penaklukkan Konstantinopel, kepulauan Kreta, kepulauan
Ijih, Benzarat, Qamuniyah, Sirt, Mogadishu, Tharablis, Wadan dan Aljazair.
Muawiyah wafat pada tahun 60 H dalam bulan April 680 M di Damaskus
karena sakit.
V. PENUTUP
Demikianlah
makalah yang kami buat guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
Kami menyadari masih terdapat kekurangan pada makalah kami ini, untuk mencapai
kesempurnaan pada masa yang akan datang, maka kami memohon kritik dan saran
yang membangun. Atas kritik dan sarannya, kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Usairy,
Ahmad. 2013. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX.
Jakarta: Akbar Media.
Mahmudunnasir,
Syed. 2005. Islam Konsep dan Sejarahnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syalabi,
A. 2000. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra.
Yatim,
Badri. 1995. Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://id.wikipedia.org/wiki/Muawiyah_bin_Abu_Sufyan, diakses tanggal 14
Oktober 2014 pukul 17:30 WIB.
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Muawiyah_bin_Abu_Sufyan, diakses tanggal 14
Oktober 2014 pukul 17:30 WIB.
[2]Ahmad Al-Usairy, Sejarah
Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2013), hlm. 186-187.
[3]Syed Mahmudunnasir, Sejarah
Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 168-169.
[5]Syed Mahmudunnasir, Sejarah
Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 175-176.
[6]Ahmad Al-Usairy, Sejarah
Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2013), hlm. 190.
[7]Ahmad Al-Usairy, Sejarah
Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2013), hlm. 191.
[8]Ahmad Al-Usairy, Sejarah
Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2013),hlm. 188-189.
[9]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995), 1995, hlm.43.
[10]Syed Mahmudunnasir, Sejarah
Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 175.
[11]Ahmad Al-Usairy, Sejarah
Islam Sejak Zaman Nabi Adam Sampai Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2013), hlm. 189.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar